Bincang Buku
Rumah Kopi Singa Tertawa
(Yusi Avianto Pareanom, Penerbit Banana, 2011)
Minggu, 7 Oktober 2012
Pukul 14:30 – 17:00 WIB
Kineruku, Jl. Hegarmanah 52, Bandung
GRATIS.
Menghadirkan penulis buku tersebut:
Yusi Avianto Pareanom (Jakarta), yang juga akan membacakan satu cerpen.
Dengan penanggap:
Budi Warsito (pustakawan Kineruku, Bandung).
Dimeriahkan oleh:
Aneka kopi gratis racikan Ariani Darmawan (penikmat kopi, pendiri Kineruku) yang khusus diinterpretasi dari cerita-cerita di buku tersebut, dan rupa-rupa penganan ringan oleh Mbak Lah (kepala juru masak Lah’s Kitchen, Bandung).
“Apa yang akan kau lakukan bila kautahu kapan dan bagaimana kematianmu datang, dosa menggetok kepala anak buta memanggilmu, novelmu segera terbit tetapi bentuk tubuhmu memalukan, tetanggamu mengantarkan makanan yang tak pernah enak, orang yang kaubenci dimutilasi, dan kau sendiri terkena penyakit yang mengundang tawa? Mungkin kau akan kena ombrophobia—takut rintik hujan, pergi bersama anjing buruk rupa ke desa yang melarang warna disebut sehingga kau harus bilang yang mata anak haram janda ujung desa setelah kedatangan perampok dari Utara untuk biru kehijauan, atau bahkan membeli kulit sida-sida. Mungkin kau akan tertawa, menangis, dan tergoda ikut bersama Yusi Avianto Pareanom mengopyok berbagai khazanah kebudayaan dunia dan menjadikannya kegilaan baru.”
Paragraf di atas, tentu saja, kami kutip mentah-mentah dari sampul belakang buku kumpulan cerita Rumah Kopi Singa Tertawa, semata-mata karena kami di perpustakaan Kineruku merasa tak kuasa menulis kalimat promosi yang lebih menggoda ketimbang itu. Rasanya sudah agak lama kami patah arang dengan cerita-cerita pendek Indonesia yang beredar hari-hari ini, di media cetak konvensional maupun dunia maya kontemporer. Beberapa cerpenis lama yang dulu tampil brilian satu persatu mulai lenyap ditelan waktu (ada yang mencoba bertahan tapi performanya terus anjlok), sementara nama-nama baru yang muncul lebih sering mengkhawatirkan ketimbang menjanjikan. Terlalu banyak orang zaman sekarang yang dengan gampangnya melabeli diri sendiri “penulis fiksi”, hanya lantaran terlalu pede menyetorkan isi kepalanya yang, (1) nggak penting, mereka sadar itu sekaligus bangga; atau, (2) sok dirumit-rumitkan, mungkin biar terkesan serius nan meyakinkan, tapi lemah argumen di sana-sini; ke publik yang entah kenapa juga rela-rela saja melahapnya—bisa jadi karena tak ada pilihan santapan lain di menu bacaannya. Terlebih jika kemungkinan (1) & (2) digabungkan—apesnya inilah wajah kebanyakan dunia penulisan fiksi sekarang—maka percayalah, itu pertanda buruk. Teramat buruk.
Cerita-cerita pendek Yusi Avianto Pareanom di buku Rumah Kopi Singa Tertawa sangat jauh dari dua hal tersebut. Atau justru sangat dekat (jika Anda kepingin terdengar filosofis), namun dalam racikan ganjil dan takaran terbaiknya? Setiap tuntas membaca cerita demi cerita, acapkali terbetik pertanyaan: bagaimana Yusi bisa dengan santainya mencomot fakta-fakta unik sepele yang (seolah) nggak penting, menyelipkannya di tengah-tengah cerita rekaannya (bualan?) yang mengalir mulus, lantas dengan cekatan mengaduknya bak penjual gado-gado kawakan dan hasilnya tetap menggiurkan? Ini jelas kabar baik alias angin segar. Layaknya tukang obat (merangkap tukang sulap) di pasar malam yang jago ngibul, batas antara realitas dan rekaan hancur lebur. Referensi kultur pop yang renyah bertebaran: personel The Beatles di sepenggal adegan ranjang yang gagal, obrolan siapa pemenang duel Bruce Lee vs Chuck Norris, mendingan Miyabi atau Sora Aoi, hukum Murphy yang kejam dan menjengkelkan, petenis ber-IQ kelewat tinggi, hingga legenda binaraga. Beberapa referensi dunia pewayangan, politik, dan seni rupa juga berkelebat sesekali, seolah menjadi selubung manis untuk hal-hal sumir nan satir, seperti perenungan soal pemahaman keyakinan yang salah kaprah, atau apa hubungan antara kehilangan dan kebahagiaan. Di tangan seorang Yusi, tema berat bisa disulap ringan, dan tema ringan dapat dibikin berat.
Hampir semua cerita di buku ini pernah dimuat sebelumnya di media massa, beberapa bahkan tersebar di internet (terpujilah mereka yang mengetik ulang dan mengunggahnya atas nama kekaguman), bisa diintip sejenak sebagai teaser bagi yang belum pernah membacanya. Jika Anda tersenyum pahit di beberapa bagian, atau terpingkal-pingkal, lalu menangis haru, percayalah, Anda tidak sendirian. Kami pun menyukai perasaan campur aduk yang timbul di setiap kisah; antara gelak-tawa dan haru-biru, antara terhibur dan tercenung. Rasanya seperti kontradiksi yang melenakan. Bahkan di judulnya sekalipun: Rumah Kopi Singa Tertawa. Mau sengakak-ngakaknya singa, dia tetap saja singa. Pertanda kita harus tetap waspada berjaga-jaga (bahwa ada yang mengkhawatirkan di dunia penulisan fiksi Indonesia?). Entahlah. Mungkin tak ada salahnya kita mencuri ilmu, yang jangan-jangan baik dan benar, langsung dari si raja hutan. Syukur-syukur terinspirasi.
Kami mengundang siapapun yang membaca pengumuman ini untuk datang.
Salam,
Kineruku
baca-dengar-tonton
www.kineruku.com
NB:
Buku Rumah Kopi Singa Tertawa dijual di Kineruku. Termasuk saat diskusi: bisa minta tanda tangan sang penulis, plus foto bareng jika perlu!
* * *
Acara ini terselenggara berkat kerjasama Kineruku dan Penerbit Banana
Comments (4)
Yusi Pereanom adalah tukang kibul yang layak dipelajari ilmunya.
Terima kasih buat infonya.
Pingbacks
[…] Cerpen ini saya ketik ulang dari buku Rumah Kopi Singa Tertawa (Yusi Avianto Pareanom, Banana, 2011). Bagi saya ini angin segar bagi dunia cerpen Indonesia yang makin melempem beberapa tahun (dekade?) terakhir. Cara melucunya yang lempang mengingatkan pada cerpen-cerpen lama Misbach Yusa Biran dan Kuntowijoyo. Andai Budi Darma bisa lebih humoris, mungkin bakal seperti ini absurdnya. Gembira bukan kepalang saya bisa menanggap penulisnya di acara bincang buku di Kineruku. […]
[…] Foto ilustrasi dicomot dari sini. Cerpen ini saya ketik ulang dari buku Rumah Kopi Singa Tertawa (Yusi Avianto Pareanom, Banana, 2011). Bagi saya ini angin segar bagi dunia cerpen Indonesia yang makin melempem beberapa tahun (dekade?) terakhir. Cara melucunya yang lempang mengingatkan pada cerpen-cerpen lama Misbach Yusa Biran dan Kuntowijoyo. Andai Budi Darma bisa lebih humoris, mungkin bakal seperti ini absurdnya. Gembira bukan kepalang saya bisa menanggap penulisnya di acara bincang buku di Kineruku. […]
[…] Budi Warsito – Cerpen Favorit: Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai on Bincang Buku Rumah Kopi Singa Tertawa […]