Tangisku Buat Bapak
cerita pendek oleh Darwis Khudori
Akhirnya, bapakku meninggal. Ketika itu, aku duduk di kelas dua SMA. Tak seorang pun kawan sekolahku tahu tentang kejadian ini, apalagi guruku. Mereka hanya tahu bahwa aku sudah tidak punya bapak lagi. Lebih dari itu, mereka tak peduli.
Aku berpisah dengan bapakku ketika aku berumur tujuh tahun. Aku tak ingat betul, bagaimana perasaanku ketika itu. Yang jelas, seingatku, tak ada perasaan sedih. Soalnya, aku memang tidak begitu akrab dengan Bapak. Bapakku seorang yang amat sibuk: pengusaha konveksi pakaian yang tergolong besar dan aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Setiap hari ia pergi entah ke mana dan baru pulang malam hari. Hanya kadang-kadang saja kami berkumpul. Yang paling sering kuingat dari bapakku ialah dongeng-dongengnya: mulai dari cerita wayang sampai Tarzan.
Pada waktu-waktu senggang, Bapak sering juga mengajakku pergi. Tempat-tempat pesiar mana saja yang pernah kukunjungi, juga tak kuingat lagi. Tapi, yang paling sering ialah pergi ke Solo. Bahkan, di kota Solo ini, kami sekeluarga sering bermalam.
Pernah, misalnya, pada masa Sekaten, kami sekeluarga menginap untuk beberapa hari di sana. Tapi, itu juga tak begitu mengesankan, karena sama saja dengan Sekaten di Yogyakarta. Meski demikian, ada sebuah kunjungan ke Solo yang amat mengesankan dan tak dapat kulupakan seumur hidupku. Kenangan itu amat membekas di hatiku dan memburuku terus, manakala aku mendengar kata Solo. Kunjungan itu merupakan salah satu mata-rantai dari perjalanan hidup kami sekeluarga. Ceritanya begini.
Pada suatu malam, aku terbangun dari tidur. Sayup-sayup kudengar suara orang berengkar. Makin lama makin jelas. Aku kaget ketika mengenali suara-suara itu. Kucari ibuku dari sisiku. Tidak ada! Jadi, rupanya, yang sedang bertengkar itu Ibuku dengan Bapakku. Aku bangkit dari tempat tidur dan pergi ke ruang tengah. Di situ kulihat Ibu sedang bertengkar hebat dengan Bapak. Kakak-kakakku melongo saja mengitari mereka, seperti sedang menyaksikan ayam aduan berlaga. Suara Ibu amat keras, kadang-kadang melengking diselang-seling dengan tangis tersedu-sedu. Bapakku menanggapinya dengan sabar. Apa yang mereka pertengkarkan, aku juga tak tahu. Yang jelas, Ibu segera menghentikan pertengkarannya demi melihat kemunculanku. Ibu memelukku dan membawaku ke tempat tidur lagi
Paginya, secara mendadak Bapakku mengajak aku pergi ke Solo. Aku akan diajak naik sepur teruthuk kesukaanku dan nonton wayang orang di Sriwedari. Aku senang sekali. Tapi, ketika kuceritakan maksud Bapak ini kepada Ibu, aku tak menyangka bahwa Ibu akan marah sekali. Semua barang-barang yang bisa diangkat, diraihnya dan dibantingnya ke lantai sambil terus mengomel dan menangis. Bapak diam saja dan aku menjadi bingung. Tapi aku merasa, bahwa saat seperti itu saat-saat paling buruk untuk tetap tinggal di rumah. Maka, akhirnya, aku ikut Bapak ke Solo.
Kami naik kereta-api, lalu naik becak menuju ke hotel. Bapak bilang, bahwa kami akan menginap di Solo beberapa hari. Ketika itu, aku sedang tidak sekolah. Bukannya karena libur, tapi karena aku memang tidak sekolah. Aku lebih suka diam di rumah, pada usiaku yang lima setengah tahun. Menggambar di lantai atau mengendarai sepeda roda tiga, mengitari halaman rumah kami yang luas. Ibu tak memaksaku sekolah, tapi ia mengajariku membaca, hingga aku telah bisa membaca huruf sedikit-sedikit.
Kami turun di depan sebuah rumah berdinding gedheg yang buruk. Aku kaget ketika Bapak berkata bahwa itulah hotelnya. Aku menurut saja. Tapi, perasaan kecewa telah mulai menyelubungi hatiku.
Suasana rumah itu betul-betul tidak ramah. Semua perabot letaknya acak-acakan. Ada meja-meja tamu, lemari kaca, bufet, dan mesin jahit, yang semuanya nampak baru dan belum sempat ditata. Ada semacam perasaan asing yang menakutkan. Apalagi ketika muncul seorang perempuan dengan dandanan yang berlebihan menyambut kami. Perempuan itu sudah setua ibuku. Namun, wajah dan tubuhnya nampak terpelihara. Mula-mula dia menyambut Bapakku dengan mesra sekali. Lalu, matanya menatapku seolah bertanya: siapakah aku Bapak mengenalkan diriku kepadanya.
“Kasih salam, Nak. Ini ibumu juga!” kata Bapak kepadaku. Aku tak mengerti maksud Bapak. Tapi, aku menurut saja.
Perempuan itu dengan tersenyum menjabat tanganku. Tapi… senyum itu… senyum itu mengerikan di balik bibirnya yang semerah darah dan bedak yang putih serta pemerah pipi merah jambu.
Senyum itu cepat sekali lenyap, ketika tanganku kulepaskan. Perhatiannya segera ditumpahkan kembali kepada bapakku. Mulai detik itu, hilanglah gairahku untuk lebih lama tinggal di situ. Kami disuguhi dengan ayam goreng kesukaanku. Tapi, aku tak ada nafsu makan. Aku disuruh istirahat di sebuah kamar dengan seprei dan bantal baru. Sendirian saja. Tapi aku tidak bisa tidur. Aku rindu kepada Ibu.
Sorenya, sehabis mandi, aku didandani dengan baju baru. Aku menurut saja. Lalu kami pesiar ke kota. Tapi gairahku telah lenyap. Aku merasa tak senang dengan kehadiran perempuan itu. Apa yang kulihat di kota Solo pada malam itu, tak ada yang masuk ke dalam kenanganku. Apa yang kuinginkan saat itu hanyalah pulang! Pulang ke Yogyakarta. Pulang ke dalam pelukan Ibu. Di tempat tidur malam itu, diam-diam aku menangis.
Sejak saat itu, pertengkaran antara Ibu dan Bapak makin sering terjadi. Dan tak sampai setahun kemudian, Bapak dan Ibu becerai. Rumah kami yang indah, yang menyimpan masa kecilku, dijual. Bapak pergi mengikuti perempuan itu. Dan, Ibu disertai semua anak-anaknya, pulang ke rumah warisan Kakek. Rumah yang kudiami hingga sekarang..
Itulah saat perpisahanku dengan Bapakku. Perpisahan yang tak kusangka akan menjadi perpisahan untuk selama-lamanya. Sebab, sejak saat itu, aku tak pernah berkumpul lagi dengan Bapakku. Tak pernah lagi aku mendengar dongengnya. Tak pernah lagi kami pesiar sekeluarga. Tak pernah lagi kudengar dengkur bapakku sampai saat matinya.
Itulah sebabnya, aku tak begitu sedih ketika bapakku meninggal. Bahkan secara berkelakar, aku berkata kepada kakak-kakakku, bahwa barangsiapa mampu membuatku menangis pada saat itu, akan kubayar mahal. Kakak-kakakku hanya tersenyum pahit. Tapi ada semacam perasaan lain: perasaan yang jauh lebih dalam dari sekadar sedih. Barangkali, itulah yang disebut tragis: Bapakku meninggal dan aku tidak menangis.
Perasaanku biasa-biasa saja, seperti kalau yang meninggal itu orang lain. Aku telah menerimanya sebagai suatu kepastian yang tak terhindarkan. Aku telah lama siap menghadapi saat seperti ini. Jiwaku telah menjadi keras. Aku telah biasa bekerja keras dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Harapanku yang naif untuk mendapatkan kasih-sayang seorang Bapak telah lama terkubur. Aku merasa telah menemukan suatu sikap yang mantap dalam hidup. Suatu sikap yang kutemukan dalam perjalananku menulis puisi. Sikap itu ialah semua yang tak terhindarkan itu indah. Semua yang terjadi di dunia ada hikmahnya bagi masa depan. Semua moment ini diciptakan untuk memperkaya kehidupan manusia dan kemanusiaan. Di sinilah letak keindahan yang bukan lahir dari sebuah saja atau lukisan, tapi dari kehidupan itu sendiri, dari suatu episode sejarah kemanusiaan yang meniupkan napas puisi yang sejati.
Barangkali, kau akan mencelaku, bahwa sikap semacam ini merupakan pelarian dari kepahitan hidup. Tapi, bagiku, itu hak setiap orang untuk menentukan sikap dalam menghadapi hidupnya, agar dia mampu memberikan makna bagi hidup ini.
Itulah sebabnya, kenapa aku tak memberi tahu siapa pun tentang kematian Bapakku ini. Juga tidak kepada guru-guru dan kawan sekolahku. Sebab, jika kuberitahu, pasti akan muncul pertanyaan-pertanyaan dari kawan-kawan dan guruku. Mereka pasti akan merubungku dan menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan tolol. Dan aku akan terpaksa mengulangi lagi cerita masa silamku yang membosankan. Inilah yang kucemaskan. Cukuplah bagiku kalau mereka tahu, bahwa aku sudah tidak punya ayah.
Maka, aku menjadi berdebar-debar ketika beberapa hari kemudian, Bapak Sucipto, kepala rumah tangga sekolahku yang terkenal teliti dan bawel itu, memeriksa buku absen kelasku. Di situ tercatat bahwa selama tiga hari berturut-turut aku tak masuk sekolah tanpa pemberitahuan. Aku dipanggilnya ke depan kelas dan semua anak memandangku penuh rasa ingin tahu. Aku terpaksa berpikir ketika mata Pak Cip mendelik menembus jantungku. Semacam perasaan cemas mengaliri dadaku. Aku tertunduk.
“Kenapa kau tak masuk sekolah tanpa minta izin?” tanyanya. Aku diam, mencoba berpkir.
“Kenapa, he!” bentaknya. “Tuli, ya? Atau, sedang mencari alasan?”
Akhirnya kuputuskan, bahwa lebih baik aku diam saja. Aku menunduk, pura-pura takut. Tapi, dalam hati, aku tertawa. Menertawakan dunia yang kocak ini.
“Kau mulai ugal-ugalan, ya?” katanya lagi. “Kau tak menghargai jerih-payah orangtuamu. Kau pamit kepada Bapak dan Ibumu untuk pergi ke sekolah. Tapi, sebenarnya, kau membolos. Kau keluyuran, nonton film, ngobrol, merokok. Ke mana saja kau selama tiga hari, he?”
Aku tertawa ngakak dalam hati. Jelaslah, bahwa Pak Cip tidak mengenal aku sungguh-sungguh. Dia tak tahu, bahwa aku sudah tak punya bapak lagi, sejak dua belas tahun yang silam. Dan dia juga tak tahu, bahwa ibuku sudah tak kuat lagi membiayai sekolahku. Da tak tahu bahwa sejak masuk SMA, aku sekolah dengan biaya sendiri, dengan jerih-payahku sebagai seorang buruh menjahit. Aku tersenyum pahit.
“He, kenapa kau tersenyum!” bentaknya. Aku tak menjawab. Pada saat itulah kudengar lonceng pergantian jam pelajaran berdentang.
“Dengar!” katanya lagi. “Besok pagi, kau harus menyerahkan surat pernyataan kepada saya, kenapa kau tidak masuk sekolah selama tiga hari tanpa izin. Surat itu harus ditandatangani oleh orangtuamu. Jika kau tidak bisa membuat surat yang meyakinkan bahwa kau bukan anak yang suka ugal-ugalan, kau tidak boleh mengikuti pelajaran seminggu lamanya. Paham?!”
“Paham!” kataku keras dan tegas tiba-tiba, sambil menantang matanya. Dia kaget dan aku senang. Dia menatap mataku nanap–nanap, tapi… terdengar ketukan di pintu. Dia cepat-cepat mengemasi stopmapnya, menatapku sekali lagi untuk kemudian keluar dari kelasku. Aku duduk kembali dan guru lain masuk.
Hari-hari selanjutnya, aku tidak masuk sekolah, sampai masa skorsingku habis. Ya, aku memutuskan untuk tidak membuat surat pernyatan ini. Aku merasa tak mampu untuk menceritakan seluruh masa silamku hingga matinya Bapak lewat surat. Dan aku sangsi, apakah dia, seorang guru yang birokratis, akan mampu memahami jiwaku?
Seminggu kemudian, ketika aku masuk sekolah lagi, Pak Cip memanggilku agar aku menghadapnya di kantornya. Dengan berdebar-debar aku masuk. Dia tersenyum menatapku. Aku menduga-duga. Tiba-tiba dia bangkit dari kursiku dan menyambutku. Dia menjabat tanganku erat sekali dan merangkul bahuku, membelai kepalaku.
“Tabahkan hatimu, Nak!” hanya itu katanya dengan airmata berlinang.
Tapi kata-kata yang sedikit itu telah cukup untuk membuatku menangis.
Kotagede, 1976
Diketik ulang oleh Kineruku dari buku kumpulan cerpen Darwis Khudori, Orang-orang Kotagede (Penerbit Bentang Budaya, 2000), halaman 80-92. Buku tersebut ada di koleksi perpustakaan Kineruku.
__
Menariknya, Darwis Khudori malah kemudian tumbuh menjadi guru. Tepatnya sebagai dosen pengajar di Universitas Le Havre, Prancis, di Lembaga Bahasa-bahasa dan Peradaban-peradaban Timur. Darwis belajar secara formal di Universitas Paris-Sorbonne, dan menerima gelar doktor di bidang sejarah dunia Arab dan Islam kontemporer pada 1999. Sementara pendidikan nonformal yang terpenting baginya didapat ketika tumbuh di Kotagede, dan selama berguru kepada Y.B. Mangunwijaya; baik di kampus, di studio arsitektur maupun di lapangan, terutama sejak 1976 hingga keberangkatannya ke luar negeri pada 1989. Meski dulu cerita karya Darwis sempat memenangkan sayembara cerpen majalah Gadis (1976 dan 1977), saat ini karya tulisnya lebih sering dijumpai dalam berbagai jurnal dan buku ilmiah. Ketika Kineruku meminta izin pemuatan cerpen ini, Darwis menyatakan, “Saya sempatkan menengok website Kineruku dan merasa senang ada prakarsa semacam itu, yang mengingatkan saya pada masa remaja dan mahasiswa ketika saya menyelenggarakan kegiatan serupa pada tahun ’70-’80an.“
Beberapa karya nonfiksi Darwis Khudori bisa didapatkan di Kineruku, yakni The Rise of Religion-Based Political Movements – Selected Papers (editor Darwis Khudori, Penerbit Bandung Spirit Book Series, 2010) dan Menuju Kampung Pemerdekaan (Darwis Khudori, Penerbit Yayasan Pondok Rakyat, 2002).