Kineruku https://kineruku.com Baca, Dengar, Tonton. Fri, 29 Dec 2023 02:22:28 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.1.18 https://kineruku.com/wp-content/uploads/2016/04/cropped-K-square-1-145x145.jpg Kineruku https://kineruku.com 32 32 /staff picks:/ Kisah Para Penyayang Kucing https://kineruku.com/staff-picks-seribu-kucing-untuk-kakek/ https://kineruku.com/staff-picks-seribu-kucing-untuk-kakek/#respond Thu, 27 Sep 2018 11:20:07 +0000 https://kineruku.com/?p=23203 > ]]>

Jika di salah satu puisinya Cyntha Hariadi menulis “..anakku melahirkanku/ sebagai seorang ibu..”, maka kakek dan nenek dalam buku Seribu Kucing untuk Kakek tidak terlahir sebagai kakek dan nenek karena anak mereka melahirkan cucu. Mereka tidak punya anak maupun cucu, mereka menjadi Kakek dan Nenek semata-mata karena lanjut usia.

Suatu hari, Kakek dapat ide memelihara anak kucing untuk melipur kesepian di hati mereka. Nenek langsung setuju! Saat berangkat ke pasar, tujuan Nenek tak cuma belanja, tapi juga mencari anak kucing. Menemukan anak kucing mestinya gampang karena kucing relatif cepat beranak pinak. Tapi hari itu tak satu pun anak kucing yang menunjukkan ekornya. Bagaimana Kakek dan Nenek menyalurkan dorongan menyayangi?

Buku Seribu Kucing untuk Kakek (Penerbit Noura, 2017; pertama kali diterbitkan Djambatan pada 1974) ditulis dan digambar Suyadi, yang mungkin lebih dikenal sebagai Pak Raden. Suyadi adalah pencipta serial sandiwara boneka, Si Unyil, yang tayang pertama di TVRI pada 1981-1993. Konon demi menghidupkan Unyil agar tak sekadar tiga dimensi, Suyadi membuat delapan wajah Unyil dengan mimik berbeda. Unyil dkk. tinggal di Desa Sukamaju, yang setnya dibangun sungguh-sungguh sehingga penonton terbawa ke dunia kecil Unyil. Saking populernya Unyil, dia beberapa kali kembali ke layar kaca. Si Unyil juga mempopulerkan tokoh yang masih bisa dicintai meski bersifat jelek: Pak Ogah dan Pak Raden. Karakter Pak Raden yang sudah hidup melewati penjajahan Belanda digambarkan pelit, pemarah, dan tak suka gotong royong (selalu menolak ajakan kerja bakti atas alasan encok).

Meski kemarahan Pak Raden senantiasa bisa diredam oleh Bu Raden, di luar layar kaca tak pernah ada Bu Raden. Menggambar dan bercerita adalah panggilan hati Suyadi. Ia mengawali karir sebagai ilustrator, lalu pelukis, kemudian belajar animasi dan bekerja sebagai tenaga pembuat animasi di Prancis. Suyadi kerap mendongeng kepada anak-anak sambil menggambar di papan tulis. Hingga menjelang akhir hayatnya, dia setiap hari menggambar ditemani kucing-kucing yang dipeliharanya.

Tanggal lahir Suyadi, 28 November, kini diperingati sebagai Hari Dongeng Nasional.

[Andika Budiman]

>> Buku Seribu Kucing untuk Kakek (Suyadi, Noura Books, 2017) bisa didapatkan di Kineruku.

]]>
https://kineruku.com/staff-picks-seribu-kucing-untuk-kakek/feed/ 0
/etalase:/ Buku-buku Foto di Kineruku https://kineruku.com/buku-foto-di-kineruku/ https://kineruku.com/buku-foto-di-kineruku/#respond Sat, 01 Sep 2018 10:50:53 +0000 https://kineruku.com/?p=23165 >]]>

Di buku On Photography (1977) Susan Sontag menulis, “Photographs are a way of imprisoning reality. One can’t possess reality, one can possess images.” Sulit disangkal, kegiatan mengamati foto kerap memunculkan cerita-cerita dalam benak kita. Misalnya, kita bisa keseringan melihat akun Instagram orang yang dianggap menarik untuk menyelidiki bagaimana sifatnya. Sebagian kita senang membuka-buka album foto keluarga dari masa terdahulu karena ingin mengenali sosok keluarga kita sebelum menjadi keluarga. Kita kerap dengan mudah menganggap foto yang termuat di surat kabar sebagai kebenaran. Sementara di galeri, foto dipamerkan dalam berbagai format untuk memberi kesan lebih beragam lagi. Teknologi sekarang kian memudahkan proses membuat dan mengedit foto. Kini banyak orang menggunakan fotografi untuk menangkap perasaan yang lebih sulit dibagi daripada kekaguman dan kebahagiaan. Banyak fotografer menggunakan media buku—yaitu buku foto—untuk membangun narasi yang diinginkannya. Para pembuat buku foto berpeluang bereksperimen tak hanya dalam konten tapi juga teknis produksi.

Berikut ini beberapa buku foto dengan kualitas produksi unik yang tersedia dan bisa dibeli di Kineruku:

Goddess of Pantura – Arum Tresnaningtyas Dayuputri, Rp170.000

Coming Home – Tandia B. Permadi (Unobtainium), Rp400.000 *)

Flock Volume 01 – Aji Susanto Anom, Arif Furqan, Kurniadi Widodo, Rp180.000

Klik – Muhammad Rohmani (Kamboja Press), Rp100.000

Around the Corner Vol. 2 – Andrea Reza (Binatang Press), Rp70.000

In Transit: 23 – Francisca Angela (Kamboja Press), Rp120.000

_

 

*) Buku Coming Home karya Tandia B. Permadi masuk ke dalam shortlist Author Book Award di Les Rencontres d’Arles 2018. Gelaran yang menyebut dirinya the first international festival of photography itu diselenggarakan untuk ke-49 kalinya pada 2 Juli-23 September 2018.

 

 

 

]]>
https://kineruku.com/buku-foto-di-kineruku/feed/ 0
/agenda:/ SERUKU.08 – XOXO: Menulis Surat https://kineruku.com/seruku-08-xoxo-menulis-surat/ https://kineruku.com/seruku-08-xoxo-menulis-surat/#respond Thu, 23 Aug 2018 09:45:50 +0000 https://kineruku.com/?p=22905 > ]]>

“Hari Sabtu tanggal 25 Agustus 2018 nanti, dari jam 2 sampai 4 sore,

aku ingin mengajakmu:
Membaca Surat
• Menceritakan Pengalaman Surat-Menyurat
• Menulis Surat

Sudilah membawa surat yang ingin kaubagikan.”

 

Kepada Yang Tersurat,

Dari Yang Tersirat.

 

SERUKU.08 – XOXO: Membaca Surat. Seri bincang sore Kineruku kali ini akan membahas hal-hal seputar surat menyurat; mulai dari membaca surat yang berkesan yang pernah ditulis/dibaca/dikirim atau berbagi pengalaman soal korespondensi, membahas buku-buku fiksi & nonfiksi yang memuat surat menyurat, fenomena surat pembaca di majalah atau surat kabar, tren kartu pos, memori masa kecil tentang sahabat pena di era pra-internet, dsb., dll., sampai mencoba menulis surat itu sendiri. Dateng yuk Sabtu ini!

 

__
Tengok tema-tema yang pernah dibahas di seri bincang SERUKU lainnya di tautan ini.

]]>
https://kineruku.com/seruku-08-xoxo-menulis-surat/feed/ 0
/blog:/ Bagaimana Na Willa Menjumpai Pembacanya https://kineruku.com/perjalananan-buku-na-willa/ https://kineruku.com/perjalananan-buku-na-willa/#comments Tue, 31 Jul 2018 03:58:25 +0000 https://kineruku.com/?p=22651 >]]>

Bagaimana cara menilai buku? Apakah berdasarkan biaya produksi, jumlah buku yang terjual, atau penghargaan yang diterima buku itu? Reda tergerak membuat catatan tentang hari-hari seorang anak perempuan yang terinspirasi kisah masa kecilnya sendiri, di gang di kampung kecil di Surabaya. Anak itu bernama Na Willa, dari nama panggilan ibu Reda. Mak dan Pak, orangtua Na Willa, juga Mak dan Paknya Reda Gaudiamo.

Apa yang terjadi pada anak-anak, yang kadang dianggap sepele oleh orang dewasa, memberi kesan yang terus menempel hingga anak itu dewasa. Dengan jernih Na Willa bercerita tentang teman-temannya (kadang lucu, kadang nakal); permainan mereka (kadang seru, kadang berbahaya); orangtuanya (kadang menggembirakan, kadang menghukum); ada orang dewasa yang mengerti bahwa dia suka soda jeruk, ada juga yang tidak mengerti apa-apa padahal tugasnya mengajar. Cerita Na Willa menakjubkan karena tidak berpaling dari kesedihan yang tak terpisahkan dari kehidupan kita, bahkan saat kita masih anak-anak.

Namun, siapa yang bersedia menerbitkan cerita Na Willa? Banyak orang dewasa yang berpikir bahwa buku anak harus berisi tokoh yang menjadi teladan. Pada umumnya penerbit pun menyerah saat berhadapan dengan naskah yang sulit dijual. Reda dan kawan-kawan yang tersentuh dengan cerita Na Willa lantas memutuskan untuk menerbitkan naskah tersebut secara indie dengan metode crowdfunding. Sekitar tahun 2012, crowdfunding belum sepopuler sekarang. Dana tak serta merta terkumpul, Reda mesti menyurati satu demi satu pihak yang sekiranya bisa membantu penerbitan bukunya. Ketika dana yang dibutuhkan terpenuhi, Na Willa pun terbit.

* * *

Rupanya perjalanan Na Willa menjumpai pembaca masih panjang. Usai diproduksi, buku mesti didistribusikan. Na Willa sempat singgah di jaringan toko buku besar, tapi umurnya di rak relatif pendek karena tidak memenuhi target penjualan. Berkardus-kardus buku Na Willa dipulangkan ke rumah penulisnya. Beberapa buku lalu dijual di tempat yang sebetulnya bukan toko buku, seperti di Kedai Tjikini.

Pada saat di mana sepertinya akan sulit bagi Na Willa untuk menjumpai lebih banyak pembaca, terjadi suatu kebetulan: Maesy, pendiri POST Bookshop, menjumpai Na Willa ketika ke Kedai Tjikini. Maesy menyimak kisah Na Willa dan amat menyukainya. Maesy berkenalan dengan Reda, yang rupanya juga pernah membuka kios di Pasar Santa. Buku Na Willa lantas dijual di POST Bookshop, dan senantiasa direkomendasikan kepada pengunjung. Sampai-sampai buku Na Willa nyaris tidak bersisa lagi di rumah Reda.

Selanjutnya, setiap kali bertemu Reda, Maesy kerap bertanya, kapan cerita Na Willa berlanjut? Pertanyaan itu tidak lantas berhenti ketika Reda menyerahkan cerita lain, yang lantas diterbitkan jadi buku Aku, Meps, dan Beps (Soca Sobhita dan Reda Gaudiamo, POST Press, 2017). Mulanya, Reda tidak berpikir akan melanjutkan cerita Na Willa. Namun, pertanyaan Maesy menggerakkan jari-jarinya. Reda merasa berjumpa dengan seorang pembaca yang lebih mencintai buku Na Willa daripada penulisnya sendiri. Saat lanjutan cerita Na Willa terkumpul, Maesy dan rekan-rekan POST Press menerbitkannya menjadi buku Na Willa dan Rumah Dalam Gang, dan menerbitkan kembali buku Na Willa terdahulu. Beberapa waktu lalu, tersiar kabar menggembirakan: buku-buku itu akan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh The Emma Press di Inggris, dan berkesempatan menjumpai pembaca yang lebih luas lagi.

Tahun terbit buku, jumlah halaman, nomor ISBN, harga, jumlah buku yang laku, semua tercatat dalam angka; tapi bagaimana cerita dalam buku bisa menyentuh pembacanya seringkali tidak kelihatan dalam bentuk angka.

* * *

[Andika Budiman]


Buku karya Reda Gaudiamo yang diterbitkan POST Press tersedia di Kineruku. 

>> Tulisan terkait: Mbak Reda Mampir ke Ruku

]]>
https://kineruku.com/perjalananan-buku-na-willa/feed/ 3
/staff picks:/ Tidak https://kineruku.com/staff-picks-tidak/ https://kineruku.com/staff-picks-tidak/#respond Wed, 25 Jul 2018 08:01:25 +0000 https://kineruku.com/?p=22675 >]]>

Saya pernah gelagapan saat ada pengunjung perpustakaan menanyakan buku apa yang cocok dibaca anak muda seperti dirinya. Bagaimana menjawabnya? Apa saya harus sarankan buku-buku kesukaan saya? (Saya masih muda! Kelahiran akhir dekade 1980an!) Atau menyarankan buku yang saya kira akan dinikmati anak lebih muda beberapa tahun daripada saya? Saya lantas merekomendasikan Dilan karya Pidi Baiq. Namun pengunjung itu bergeming. Saya lalu mengaku buku paling berkesan yang baru saya baca adalah buku puisi Non-Spesifik karya Gratiagusti Chananya Rompas. “Saya jadi kepikiran apa yang dirasakan, tapi nggak pernah dikatakan ibu saya,” kata saya tentang buku itu. Pengunjung itu bengong lantas berlalu tanpa memilih buku apa-apa. Mungkin saya memang bukan anak muda lagi. Berupaya memahami, menempatkan diri di posisi orangtua, kini jadi hal menarik bagi saya.

Beberapa hari lalu saya membaca kumpulan cerpen Tidak (Putu Wijaya, Pabelan Jayakarta, 1999). Saya terhibur sekali, bisa dibilang Putu Wijaya kebalikan dari saya. Meski terlahir sebelum hari kemerdekaan Indonesia, Putu luwes menempatkan diri di posisi anak muda di dalam ceritanya. Kebeliaan tokoh-tokoh yang ditulis Putu terasa nyata tak sekadar dari bahasa yang digunakan untuk bicara, maupun kesenangan makan di Wendy’s dan nonton Jurassic Park; lebih penting lagi, anak-anak muda di cerita Putu tak menerima begitu saja apa yang telah ditentukan orang lain. Misalnya Tuty, menolak hadiah mobil dari ayahnya sebagai sogokan supaya dia mau bicara lagi kepada ibunya. Anak-anak muda itu juga tak berlagak jadi yang paling tahu, tapi terus mencari tahu. Sebagaimana Anna, yang mempertanyakan apa betul cinta cuma untuk dilakukan, tak perlu dikatakan. Karena sikap-sikap itulah anak muda bisa memetik pemahaman berbeda dari apa yang selama ini diajarkan ke mereka. Pada akhirnya, mereka mendapatkan kejutan menyenangkan yang tak cuma berlaku bagi diri mereka sendiri, tapi juga bagi orangtua mereka.

Setelah membaca Tidak, saya geli saat kembali mengingat bagaimana si pengunjung perpustakaan tadi itu tidak menyentuh buku-buku yang saya rekomendasikan. Bagus. Namanya juga anak muda.

[Andika Budiman]

Kineruku mengoleksi beberapa karya Putu Wijaya, baik fiksi maupun nonfiksi, seperti: Aus, Blok, Bor, Cascus, Dag Dig Dug, Dar Der Dor, Darah, Goro Goro, Gres, Kroco, Lho, Merdeka, Ngeh, Pabrik, Perang, Pol, Protes, Putri (Buku Pertama), Putri (Buku Kedua), Sobat, Telegram, Teror, Tiba-Tiba Malam, Tidak, Tulalit, Uap, Yel, Zat, dan Zig Zag.

Kineruku juga menjual sejumlah karya Putu Wijaya, yaitu:

>> Dangdut (Penerbit Basabasi), Rp80.000.

>> Stasiun (Metafor Publishing), Rp50.000.

>> Telegram (Penerbit Basabasi), Rp55.000.

>> Jprut (Penerbit Basabasi), Rp50.000

]]>
https://kineruku.com/staff-picks-tidak/feed/ 0
/agenda:/ Bincang Buku Kura-kura Berjanggut https://kineruku.com/diskusi-kura-kura-berjanggut/ https://kineruku.com/diskusi-kura-kura-berjanggut/#respond Sun, 17 Jun 2018 09:22:14 +0000 https://kineruku.com/?p=22251 >]]>

 

BINCANG BUKU:
Kura-kura Berjanggut

Kineruku, Jl. Hegarmanah 52, Bandung
Minggu, 24 Juni 2018, pukul 15:00 WIB

Bersama:
Azhari Aiyub (pengarang novel Kura-kura Berjanggut)
Yusi Avianto Pareanom (penyunting, Penerbit Banana)

Moderator:
Budi Warsito (pustakawan Kineruku)

 

Ada beberapa alasan yang mungkin langsung membuatmu enggan membaca novel Kura-kura Berjanggut (Penerbit Banana, 2018) karya Azhari Aiyub:

1. Judulnya kelihatan mengada-ada. Seumur hidup, kamu belum pernah melihat kura-kura yang berjanggut.

2. Bukunya setebal batu bata.

3. Bab pertamanya bercerita tentang hasrat membalas dendam, dan perebutan kekuasaan pada abad ke-16 di kerajaan dan bandar yang sepertinya kini sudah tidak ada lagi. Bukanlah lebih baik membaca sesuatu yang, ehm, lebih relevan dengan kehidupanmu saat ini?

Namun apa jadinya kalau seorang pembaca hanya membaca buku yang dia tahu dia akan sukai? Jika rasa engganmu mengalahkan rasa penasaranmu terhadap Kura-kura Berjanggut, berarti kamu mesti rela kelewatan beberapa hal seru di hidup yang fana dan pendek ini. Misalnya, upaya Azhari mengisahkan kembali sebuah dunia yang runtuh; ia menuliskannya selama hampir duabelas tahun menjadi novel setebal 960 halaman ini.

Kura-kura Berjanggut menyerap kita ke dalam petualangan-petualangan menakjubkan yang melibatkan pertempuran di laut, muslihat di antara para pengkhianat, adu gajah sampai mati, nahkoda Zeeland gila, ulat merica, agama yang memuja Kerang yang lebih tua ketimbang alam semesta, wangsa Pemburu Tuhan, penyelewengan perasaan penderita kusta, para pembunuh yang menumpang hidup di negatif foto, petualangan burung tiung pencicip makanan raja melawan koki asal Lombardia, dan sufi Hamzah Fansuri yang diperebutkan Tarekat Burung Pingai dan Pertapa 33 Tasbih sekaligus ditakuti Anak Haram Lamuri.

Kau mungkin belum kelar membaca buku ini, atau bahkan belum ada nyali untuk memulainya; tapi datanglah ke Kineruku hari Minggu nanti. Kau akan tergugah.

 

_
Novel Kura-kura Berjanggut bisa didapatkan di Kineruku.

]]>
https://kineruku.com/diskusi-kura-kura-berjanggut/feed/ 0
/staff picks:/ Impian Amerika https://kineruku.com/staff-picks-impian-amerika/ https://kineruku.com/staff-picks-impian-amerika/#respond Wed, 23 May 2018 07:27:53 +0000 https://kineruku.com/?p=22087

Membaca kumpulan cerita karya Kuntowijoyo, Impian Amerika, saya seolah berjumpa dengan seorang Pakde yang lama tidak saya jumpai. ‘Pakde’ ini kembali ke Indonesia setelah bertahun-tahun tinggal di Amerika Serikat, dan beliau membawa pulang cerita panjang tentang orang Indonesia yang dijumpainya selama tinggal sana.

Rupanya di Amerika, ‘Pakde’ berjumpa dengan orang Indonesia dari berbagai ‘tempat’ yang berbeda. Ada orang Batak, Jawa, hingga Makassar. Ada yang terlahir di keluarga yang kaya dan yang miskin. Ada yang lajang dan yang menikah. Ada yang jadi mahasiswa, dan yang jadi pekerja kasar. Kesemuanya punya impian yang semakin bermacam-macam lagi: ada yang bercita-cita jadi majikan, ada yang ingin dimakamkan di Indonesia, ada yang ingin menata apartemen supaya layak ketika dikunjungi ibunya, ada yang ingin punya anak. Paling sedikit ada tiga puluh impian! Bahkan ‘Pakde’ termasuk salah satu orang yang mengungkapkan keinginannya. Dalam cerita “Pengajian, Pengajian!” beliau menuliskan, “Ketika saya bersekolah di Storrs, Connecticut, ada kekhawatiran yang mendalam kalau (saya) tiba-tiba mati mendadak, tidak akan ada yang merawat jenazah saya secara Islam.”

Awalnya rasa sayang bercampur rindu membuat saya menutup mulut dan memasang telinga baik-baik. Namun, lama-lama saya gelisah. Gaya bercerita ‘Pakde’ Kuntowijoyo memang sebagaimana Pakde saya sendiri, yang membuai saya ketika kanak-kanak dengan cerita pengantar tidur. Pakde kerap bercerita tentang masa lalu, kelucuan yang baru dialami, serta kisah keluarga kami yang lain. Tuturan beliau kedengaran jujur dan maksudnya jelas: menunjukkan mana yang baik dan yang buruk. Dulu, itu membuat saya merasa nyaman. Sekarang, saya menyadari betapa kami berdiri di tempat yang berbeda: apa yang bagi Pakde baik belum tentu baik bagi saya, demikian pula sebaliknya. Sekarang menyimak cerita ‘Pakde’ memberi saya kesan bahwa beliau percaya bahwa segalanya akan baik-baik apabila seseorang menikah, punya anak, hidup sesuai ajaran agama, bermasyarakat, dan mengalami mobilitas sosial yang menanjak. Tentu baik, bila ada seseorang yang mengalami hal itu. ‘Pakde’ dan Pakde bisa dibilang telah mengalami kesemua hal tersebut. Namun bagaimana dengan orang yang tidak mengalaminya? Apakah hidupnya lantas jadi lebih tidak bernilai?

Dari sekian cerita ‘Pakde’, yang paling menyentuh saya adalah cerita tentang Aty, yang sempat menimbulkan kehebohan ketika dia hamil di luar nikah dan tidak tahu siapa ayah dari janin yang dikandungnya. Para mahasiswa Indonesia mendadak rajin ke pengajian karena tidak ingin dituduh telah menghamili Aty. Tantenya yang dulu dengan bangga mengakui Aty sebagai anaknya, karena kepandaian Aty dan keluwesannya bergaul, kini menegaskan kepada orang-orang bahwa Aty adalah keponakannya. Orang-orang di sekitar Aty lantas bergantian menawarkan ‘solusi’ atas ‘persoalan’ tersebut, tapi kesemuanya ditolak Aty. Ketika anaknya terlahir, Aty semakin bersemangat hidup karena yang dipikirkan kini tidak hanya dirinya sendiri. Dia juga tidak lagi memikirkan pandangan orang lain, Aty lantas menjalani hidup sebagaimana pilihannya. Bagi saya, Aty telah berupaya sebaik mungkin.

Saat saya hanyut dalam pikiran saya, Pakde saya seolah bertanya, “Kalau impian Andika apa?” Saya hanya meringis, karena satu-satunya impian yang terlintas di benak saya ketika itu adalah berakhirnya percakapan kami. Apa yang saya rasakan mungkin tergambar jelas di wajah saya, karena setelahnya dengan kelihatan salah tingkah, Pakde seperti bilang, “Apa cerita Pakde menyinggung perasaanmu? Kok kamu diam saja? Kamu boleh punya impian apa saja kok, meskipun jelas nggak semua bisa kesampaian. Memang Pakde akan lebih senang kalau mimpi kita ternyata sama, karena kita sekeluarga.”

Seharusnya saya berkata, “Tidak apa-apa.” Namun saya tidak berkata apa-apa.

(Andika Budiman)

***

Kineruku mengoleksi beberapa karya Kuntowijoyo, baik fiksi maupun nonfiksi, seperti: Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas; Metodologi Sastra, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Pasar, Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi, dan Isyarat.

Kineruku juga menjual sejumlah karya Kuntowijoyo, yaitu:

>> Impian Amerika (Penerbit Mata Angin), Rp80.000.

>> Pasar (Penerbit Mata Angin), Rp85.000.

>> Petani, Priayi, dan Mitos Politik: Esai-esai Sejarah (Penerbit Matabangsa), Rp85.000.

>> Khotbah di Atas Bukit (Penerbit Mata Angin), Rp75.000

>> Waspirin & Satinah (Penerbit Kompas), Rp45.000

 

]]>
https://kineruku.com/staff-picks-impian-amerika/feed/ 0
/catatan:/ Bincang-bincang Manifesto Flora, Bertemu Penulis yang Dicintai https://kineruku.com/bertemu-penulis-yang-dicintai/ https://kineruku.com/bertemu-penulis-yang-dicintai/#comments Mon, 30 Apr 2018 10:45:24 +0000 https://kineruku.com/?p=21894 >]]>

 

 

Muhammad Rangga Padika adalah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Sastra Inggris yang sedang magang di Kineruku. Selama tiga bulan, dia membantu Kineruku merapikan buku-buku di rak, membaca dan mengulas buku koleksi perpustakaan, membantu Andika Budiman menulis konten untuk medsos Kineruku, hingga mencatat data barang di toko daring. Rangga bercita-cita menjadi penulis yang karyanya dipublikasikan di media cetak.

Rangga mengaku senang karena selama dia magang ada tiga penulis yang diundang ke Kineruku untuk membicarakan karyanya. Dia bertugas membuat catatan tentang acara yang diadakan di Kineruku. Biasanya tugas itu dikerjakannya sendirian, tapi karena Andika dan Rangga sama-sama sangat menyukai kumpulan cerpen Manifesto Flora karya Cyntha Hariadi (terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2017) kali ini mereka mencoba mengerjakannya berdua. Meskipun biasanya kalem, kalau sudah bersemangat dan menyenangi sesuatu, Rangga akan menunjukkannya.

Berikut ini percakapan mereka, setelah menyimak bincang buku Manifesto Flora di Kineruku pada 7 April 2018 lalu.

* * *

Andika: Rangga, gimana sih kamu bisa sampai baca Manifesto Flora?

Rangga: Aku baca Manifesto Flora untuk persiapan acara di Kineruku waktu itu. Mau tidak mau aku harus baca bukunya, bukan?

Andika: Hahaha! Ngomong-ngomong, kamu tahu nggak gimana sebuah buku bisa dibuatkan bincang bukunya di Kineruku?

Rangga: Nggak sih, Kak. Aku cuma menduga-duga saja, selama ini kulihat Kineruku punya relasi ke penerbit dan penulis. Mungkin acara diselenggarakan bermula dari relasi itu ya?

Andika: Bisa dibilang begitu, tapi nggak semua relasi dibuatkan acaranya. Semua ditentukan dari selera bacaan para pengelola Kineruku. Aku ingat ketika bincang buku Manifesto Flora, moderatornya, Mbak Rani, mengaku bahwa pengalamannya membaca buku itu menyenangkan karena dia bisa dengan seru membicarakannya dengan Mas Budi. Ada cerita yang membuatnya melongo, lalu mondar-mandir tidak jelas hanya untuk memahami apa yang dirasakannya. Buku Manifesto Flora bahkan selalu ada di tas mereka, dibawa ke mana-mana. Kalau ada buku yang kita anggap oke, sudah sewajarnya, kan, kita ingin membicarakannya?

Rangga: Hmm, kalau gitu mungkin aku punya selera yang mirip dengan pengelola Kineruku. Buku kumpulan cerpen Cyntha Hariadi ini bikin aku mempertanyakan terus hal-hal yang mungkin nggak akan terjawab, tapi tetap saja menyebalkan kalau nggak diutarakan. Misalnya saja:

  • Kenapa cerita di dalam buku ini semuanya berkisah tentang kehilangan?
  • Juga kenapa cara Cyntha menarasikan ceritanya itu cenderung dingin dan keras? Apa dia mengalami sedemikian banyak kehilangan sampai perlu diutarakan di sini?
  • Siapa tokoh-tokoh dalam buku Manifesto Flora? Dari mana mereka muncul? Apa sepenuhnya bagian dari imajinasi si pengarang, atau terinspirasi dari kehidupan nyata dia?

Aku paling ingat tokoh dokter Agnes, seorang dokter kecantikan yang pada awalnya terlihat sempurna dan siap membantu orang-orang yang datang ke tempatnya, padahal sebenarnya dia punya banyak kegelisahan tentang orang-orang yang mendambakan kecantikan. Menurutku itu ironis dan bertolak belakang dengan apa yang dia kerjakan, tapi mungkin begitulah karakter-karakter dalam Manifesto Flora. Mereka kerap mempertanyakan atau bahkan mendebat diri mereka sendiri.

* * *

 

“Kulitnya putih seperti arang itu gelap. Dahi, mata, hidung, mulut, dan dagu terpahat dengan jarak sempurna di bundar mungil wajahnya yang damai sampai ia nyaris kelihatan suci. Semasa sekolah ia selalu terpilih menjadi Bunda Maria dalam sandiwara Natal. Sebuah kebetulan. Sesuatu yang tak direncanakan. Ujar Maria, terjadilah padaku menurut kehendakMu. Dan itu, dari kecil Agnes yakini betul.”

(dari cerpen “Dokter Agnes” oleh Cyntha Hariadi di buku Manifesto Flora) 

 

Rangga: Setelah membaca cerita “Dokter Agnes”, menurutku pesannya—yang harus disampaikan ke orang lain (mungkin juga ke semua orang)—adalah ‘kau tak akan tahu penderitaan orang lain sampai kau merasakannya sendiri!

Andika: Hahaha!

Rangga: Cerita “Dokter Agnes” bisa membawakan pesan tersebut tanpa memberi kesan menggurui atau menyebalkan! Kalau cara membawakannya seperti bagaimana aku mengungkapkannya barusan, tentu bakalan terasa mengesalkan!

Andika: Aku terkesan bagaimana kecantikan Agnes membuat pasiennya percaya akan kemampuan Agnes mengubah wajah dan nasib mereka. Seolah setelah Agnes menangani wajah mereka, mereka akan berbahagia sebagaimana Agnes. Padahal Agnes pun bisa merasa tidak bahagia. Apa yang dianggap orang lain cantik, bisa jadi sumber ketidakbahagiaan bagi pemilik kecantikan tersebut, dan tentu banyak sumber ketidakbahagiaan yang lainnya.

Rangga: Itulah yang kusukai dari cerita-cerita Cyntha. Dia bisa mengungkapkan bagaimana sesuatu yang kelihatan baik di luar, belum tentu terasa baik juga di dalam. Cantik bukan menjadi patokan kebahagiaan. Rumah yang besar dan kokoh bisa hancur dari dalam. Pasangan yang terlihat mesra bisa saja menyimpan kebencian pada satu sama lain. Cara Cyntha mengatakan semua itu mendekatkanku dengan karakter-karakternya. 

Andika: Kamu tahu nggak Cyntha pernah mewawancarai seorang dermatologist terkenal di Singapura, dr. Georgia Lee, untuk majalah Clara?

Rangga: Wah aku nggak tahu itu! Apa wawancaranya berpengaruh kepada cerpen “Dokter Agnes”?

* * *

 

Cyntha Hariadi: Apakah cantik jaminan bahagia?

Dr. Georgia Lee: Memperbesar kemungkinan, ya. Saya sering bilang ke pasien-pasien saya yang muda bahwa jadi wanita cantik seperti kado Natal. Yang bungkusannya paling menarik, pasti yang paling pertama dibuka. Tapi pas dilihat dalamnya kosong, ya tidak ada gunanya. Harus ada substance, bisa skills atau intelligence.

Cyntha Hariadi: Apakah ada usaha cukup untuk mencapai kecantikan? 

Dr. Georgia Lee: (berpikir sejenak) Pertanyaan sulit, karena bagaimana kita tahu batasannya? Tapi, saya pikir harus ada batasnya. Tergantung pada tingkat kepercayaan diri seseorang, orang-orang di sekitarnya, dan dokternya. Orang-orang terdekat bisa memberi sedikit pujian. A “You look great today.” can make your day. Dokter memiliki peran yang sangat penting karena ia yang membuat batasan itu menjadi nyata, konkrit. 

(dari artikel “Vanity is Fair” oleh Cyntha Hariadi di majalah Clara)

 

Andika: Sebelum kita membaca sebuah buku, kupikir kita menimbang dulu apa buku itu pantas dibaca. Mungkin seringkali yang jadi pertimbangan adalah yang ‘kelihatan’. Misalnya apakah buku itu memenangkan penghargaan kesusasteraan, disebut-sebut oleh penulis kesukaan kita, diulas media yang kita baca, disukai teman kita, dan sebagainya. Seandainya Manifesto Flora bukan buku kesukaan para pustakawan Kineruku, apa kamu tertarik membacanya?

Rangga: Memang daya tarik visual merupakan pertimbangan. Toh indra yang paling kita andalkan selama hidup adalah mata, jadi wajar saja kalau buku yang terlihat baru dan segar lebih sering dipilih daripada buku yang sampul depannya kosong atau tampak lusuh. Dan wajar juga jika kita mencari buku yang sudah direkomendasikan. Mungkin kita tidak ingin buang-buang waktu dengan membaca buku yang ternyata tidak kita sukai, atau mungkin juga kita mencari ‘penerimaan’ di kalangan kita dengan membaca buku yang sudah terpilih. Direkomendasikan atau tidak, mungkin aku akan tetap membaca Manifesto Flora. Cerita demi cerita aku baca, dan tanpa sadar aku sudah mengulangi membaca.

Andika: Apa harapan kamu ketika datang ke bincang buku Manifesto Flora?

Rangga: Kadang-kadang aku senang ketika seorang penulis buku datang dan membicarakan pengalamannya menulis. Itu membuatku terpacu menulis. Namun aku juga berharap bahwa sang penulis tidak terlalu banyak membeberkan tentang arti cerita menurutnya, karena buatku itu dapat mengurangi keasyikan interpretasi. Kalau Kakak sendiri bagaimana?

Andika: Tidak bisa tidak, aku penasaran apa cara Cyntha bercerita secara lisan akan sama dengan caranya bercerita di dalam tulisan. Dan aku sependapat denganmu, banyak cerita sedih dalam Manifesto Flora. Aku terkesan karena cara Cyntha menuturkannya tidak dramatis. Kata-katanya tersusun apik tapi nggak bikin kita terlalu sibuk mengagumi susunan katanya sampai lupa dengan apa yang diceritakan. Sebelum bertemu, kamu membayangkan Cyntha orangnya seperti apa?

Rangga: Kukira orangnya kelam sebagaimana ceritanya. Hahaha! Ternyata ketika bertemu langsung, anggapanku terhadap Cyntha langsung terjungkirbalikkan. Jauh dari itu, ternyata Cyntha sangat ceria dan banyak bicara. Mood acara jadi ringan dan banyak tawa. Banyak yang dia bicarakan. Mulai dari ‘pengalaman batin’ yang membuatnya menulis cerita-cerita dalam Manifesto Flora, yang sebagian didapatnya dari kehidupan nyatanya sehari-hari. Dia juga mengaku dirinya tidak suka menceritakan hal-hal ‘wah’, dengan cara yang terlalu ‘wah’.

Bincang buku Manifesto Flora di Kineruku, 7 April 2018

 

Andika: Aku menangkap Cyntha kelihatan senang ketika bertemu sekelompok yang orang sudah membaca bukunya maupun yang penasaran dengan ceritanya. Dia mengaku ketika menulis cerpen dan puisi, dia tidak memikirkan siapa yang akan membaca tulisannya. Berbeda ketika dia menulis iklan, yang sasarannya ditentukan. Mikael Johani ikut membahas Manifesto Flora bersama Cyntha dan Mbak Rani. Kebetulan Mikael menjadi juri Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015, di mana karya Cyntha terpilih menjadi Pemenang III. Ketika jadi juri, Mikael tidak tahu siapa penulis manuskrip yang dinilainya. Ada satu manuskrip yang berkesan baginya karena penulisannya rapi, dengan punchline yang disimpan di bagian akhir. Mikael curiga penulis manuskrip itu adalah copywriter, karena iklan biasanya juga ditulis seperti itu. Rupanya betul! Itu adalah manuskrip puisi Cyntha, yang lama bekerja sebagai copywriter. Mikael bertanya-tanya, bagaimana ya kalau Cyntha menulis dengan lebih lepas? Pertanyaannya terjawab ketika membaca Manifesto Flora.

* * *

 

Salah satu iklan karya Cyntha Hariadi

 

Andika: Mbak Rani bilang cerita-cerita di buku Manifesto Flora seperti danau kecil tenang yang diam-diam memiliki kedalaman luar biasa, sementara ada penulis yang karyanya seperti lautan lepas dengan ombak bergulung-gulung. Seingatku Cyntha tertawa, lalu menanggapi bahwa dia punya analogi sendiri: ketika menulis dia tidak punya karpet terbang, yang dimilikinya adalah kaca pembesar.

Rangga: Kalau nggak salah, Mikael bilang dia merasa akrab dengan tulisan Cyntha karena mereka banyak membaca karya penulis yang sama, penulis dari Amerika, seperti Lorrie Moore, Lydia Davis, dan Tennessee Williams.

Andika: Aku tersentuh waktu Cyntha mengaku dia tidak menemukan dirinya di cerpen koran yang cenderung mengutamakan lokalitas. Suatu kali, dia pernah mengirimkan cerita ke koran, dan cerita itu tidak dimuat. Cyntha juga pernah berbagi pengalamannya mengikuti sebuah workshop penulisan skenario film, di mana skenario yang dia tulis dianggap tidak mungkin difilmkan karena menggunakan alegori. Kupikir pada dasarnya penulis ingin karyanya diterima, tapi dalam perjalanan mungkin dia bakalan bertemu dengan orang-orang yang sudut pandangnya berbeda dan tidak berusaha mengerti dari mana penulis ini berasal. Namun, kalau penulis itu tidak berhenti berusaha, pada akhirnya dia akan berjumpa dengan orang-orang yang sungguh menerima dan menyayangi karyanya.

* * *

Di bawah kaki,
tanah membuka mata, kakinya tergelitik
tanah menggelinjang, ia melompat
tanah menyembur, ia terlempar dan tersungkur
mengusap dengkul, ia membuka mata
dan bertemu alamanda. 

Sejak saat itu, ia tahu apa artinya bersemi
yang tampak mati ternyata hidup
yang sungguh mati bisa hidup lagi
bila ibu marah bisa senyum lagi
bila ayah senyum ia juga bisa marah

yang kecil tumbuh menjadi besar
yang besar mengecil karena menua
tak ada orang yang sedih terus
tak ada yang senang terus.

Ketika alamanda merunduk dan jatuh ke tanah
ia tahu alamanda akan abadi.

(puisi “Bersemi” oleh Cyntha Hariadi di antologi Ibu Mendulang Anak Berlari)

 

Andika: Sebelum memulai bercerita, pada buku Manifesto Flora Cyntha menggunakan kutipan dari karya Tennessee Williams, “Segala yang manusiawi tidaklah membuatku jijik, Tuan Shannon, kecuali sesuatu yang tak berhati, biadab.” Menurutmu, apa bedanya antara yang manusiawi dan yang tak berhati?

Rangga: Hmm… Aku tidak tahu konteks kalimat tersebut dalam cerita Tennessee Williams, namun menurutku apa yang dimaksud ‘manusiawi’ adalah sesuatu yang mungkin dilakukan manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya dan orang lain, sementara sesuatu yang ‘tak berhati’ mungkin merujuk pada kejahatan atau keburukan yang tak perlu dilakukan. Jika dihubungkan dengan kumpulan cerpen Cyntha, aku merasa bahwa semua yang para karakter utama lakukan, baik atau buruknya, adalah kelakuan yang sifatnya ‘manusiawi’, seperti meninggalkan seseorang demi yang lebih dicintai, membenci seorang teman lama, ataupun membuat cerita sedih untuk seorang kerabat. Bagiku, karakter-karakter itu cukup mudah dikenali. Aku tidak punya teman yang berprofesi sebagai dokter kulit, atau kenalan seorang suster di gereja. Tapi aku kenal orang-orang yang tersenyum di depan umum, sementara kesakitan ketika sendirian; mereka yang kehilangan anggota keluarga tercinta; orang-orang yang tidak dapat memiliki sesuatu atau seseorang yang ia cinta.

Andika: Karena tergambarkan dengan baik, maka mereka nggak cuma hidup sampai akhir cerita pendek, tapi tetap hidup di kepalaku. Sekalipun dalam cerita, mereka menghadapi peristiwa yang tidak membahagiakan, aku percaya ada cerita lain di mana mereka berbahagia. Dalam cerpen “Setengah Perempuan II”, tokohnya Lydia, perempuan yang tidak merasa berkekurangan meskipun dia dan suaminya tidak punya anak. Mertuanya menyayangkan kondisinya, lalu Lydia menemukan brosur tentang mengadopsi anak dari panti asuhan, dia lantas mengunjungi panti asuhan itu. Aku menganggap kunjungan itu merupakan keberanian, karena tidak semua orang punya keberanian mendekati apa yang asing bagi mereka. Lydia mempertimbangkan suara yang berbeda dengan dia, kupikir sifat itu akan memungkinkan dia menjalani hidup yang baik. Baik as in nggak predictable, dan penuh dengan pemaknaan baru. Aku melihat ‘tak berhati’ sebagai ketidakmampuan untuk memaafkan dan memaklumi. Kegagalan untuk menempatkan diri di posisi orang lain. Ketidakmampuan untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Aku merasa Lydia berhati, itulah yang membuatnya tetap hidup.

Rangga: Bisa jadi begitu, karena seseorang yang memiliki perasaan ‘manusiawi’ akan dapat mengerti penderitaan orang lain dengan lebih mudah. Memang rasanya karakter-karakter dalam Manifesto Flora tercipta dengan komplit. Mereka punya kekurangan, namun juga memiliki kelebihan dan daya tarik yang membuat kita terus membaca. Aku setuju bahwa karakter itu hidup bahkan setelah titik terakhir dituliskan. Bahkan, aku rasa semua karakter ini bisa bahagia setelah menanggung berbagai kesulitan. Siska (dalam cerita “Dua Perempuan di Satu Rumah”) bisa saja belajar lagi mencintai Norman bersama Bi Onah, ketimbang memusuhinya. Ibu Kumala (dalam “Rumah Batu Kali) mungkin suatu saat akan berdamai dengan kematian suaminya. Karakter lainnya pun mungkin akan bahagia ketika saatnya tiba. Mungkin bukan ‘happy ending’ yang ideal, tapi memangnya ada ‘happy ending’ yang ideal di dunia nyata?

Andika: Menurut Cyntha, dia menulis karakter-karakter tersebut berdasarkan orang yang dia jumpai. Orang-orang yang tidak selalu dia senangi, dan bisa mudah saja dia hakimi. Namun, dia berusaha memahami mereka dengan menulis cerita tentang mereka.

Rangga: Suara-suara itu adalah Cyntha, tapi juga bukan Cyntha.

* * *

 

 

Andika Budiman &
Muhammad Rangga Padika

]]>
https://kineruku.com/bertemu-penulis-yang-dicintai/feed/ 2
/bincang buku:/ Manifesto Flora https://kineruku.com/bincang-buku-manifesto-flora/ https://kineruku.com/bincang-buku-manifesto-flora/#respond Tue, 03 Apr 2018 08:07:15 +0000 https://kineruku.com/?p=21478 >]]>

BINCANG BUKU:
Manifesto Flora

Kineruku, Jl. Hegarmanah 52, Bandung
Sabtu, 7 April 2018, pukul 13:30 WIB

Bersama:
Cyntha Hariadi (pengarang Manifesto Flora)
Mikael Johani (penulis)

Moderator:
Ariani Darmawan (pustakawan Kineruku)

Kemunculan Cyntha Hariadi dengan kumpulan cerpennya Manifesto Flora (2017) mengagetkan saya. Kehadirannya seperti angin segar di dunia kepenulisan fiksi Indonesia mutakhir, bahkan menurut saya ini kumpulan cerpen terbaik yang pernah ada setelah Orang-orang Bloomington-nya Budi Darma. Cyntha yang sebelumnya mulai dikenal publik lewat buku kumpulan puisi Ibu Mendulang Anak Berlari (2016), berhasil melahirkan antologi cerpen yang dingin dan minim dialog, namun sekaligus hangat karena sanggup menghadirkan rasa-rasa familiar yang jarang terkatakan. Manifesto Flora mengangkat suara sosok-sosok terlewatkan yang teredam oleh norma-norma kepantasan dan laku-laku kaku sok benar. Di saat banyak penulis lain sibuk dengan permainan plot, eksperimentasi bentuk, topik-topik sensasional, Cyntha berada dua langkah di depan dengan justru menampilkan tema-tema klasik (dysfunctional family, religiositas, rasa kehilangan, pembermaknaan tubuh) lewat pergulatan emosi masing-masing karakternya yang lebih kompleks dan mendalam. Saking dalamnya, setiap selesai satu cerita saya seperti megap-megap mencari udara segar seperti habis menyelam jauh tanpa tabung oksigen. Bagaimana tidak, di satu cerita Cyntha bercerita tentang seorang perempuan miskin yang dinikahi pria kaya namun tak pernah dianggap mama oleh anaknya sendiri. Di lain kisah, seorang lelaki tua berharap hujan melunturkan warna kulit cucu angkatnya yang hitam. Nasib dan takdir membayangi mereka semua. Saya tahu Cyntha tidak mencoba berkuasa atas takdir mereka, ia tidak berusaha memelintir kisah-kisah mereka menjadi lebih riang atau lebih nelangsa dari semestinya.

[Ariani Darmawan]

__
Buku Manifesto Flora bisa didapatkan di Kineruku.

]]>
https://kineruku.com/bincang-buku-manifesto-flora/feed/ 0
/etalase:/ Zine Domestic Notes 01: Home Food https://kineruku.com/etalase-zine-domestic-notes-01-home-food/ https://kineruku.com/etalase-zine-domestic-notes-01-home-food/#respond Sun, 18 Mar 2018 02:09:02 +0000 https://kineruku.com/?p=21503 >]]>

Namanya makanan, jika enak, maka bakalan cepat habisnya. Berbeda dengan cerita tentang makanan enak yang seolah tidak habis-habis. Mungkin begitu karena bumbu yang menyedapkan makanan tidak pernah garam dan gula saja, tapi juga pengalaman yang kita lalui ketika menyantap makanan. Nasi goreng pinggir jalan terasa jauh lebih enak apabila pindah ke perut saat kita sedang bersama orang kesayangan; roti kesukaan malah akan biasa saja kalau keseringan dimakan hingga kita terlalu ingat rasanya; semua makanan terasa enak kalau dimakan ketika lapar berat; dan masakan paling kacau dan tak karuan bisa terasa comfortingly familiar jika resepnya berasal dari rumah kita sendiri.

Pada zine Domestic Notes 01: Home, Food, Nuraini Juliastuti (peneliti, co-founder Kunci Cultural Studies) menulis apa yang dia pikirkan tentang makanan ketika dia juga sedang memikirkan rumahnya. Dia bercerita tentang isi kulkas di rumah tempat dia dibesarkan, pengalamannya jajan di luar, juga tentang arisan, di mana sudah jadi kebiasaan bahwa pemilik rumah tempat arisan diselenggarakan mesti menyediakan beraneka penganan. Hmm, apa terkadang kita menyuapi raga supaya jiwa kita merasa kenyang?

 

__
Zine Domestic Notes 01: Home Food seharga Rp50.000,- bisa dibeli di webstore Kineruku pada tautan ini.

]]>
https://kineruku.com/etalase-zine-domestic-notes-01-home-food/feed/ 0
/bincang buku:/ Muslihat Musang Emas https://kineruku.com/bincang-buku-muslihat-musang-emas/ https://kineruku.com/bincang-buku-muslihat-musang-emas/#respond Mon, 12 Feb 2018 10:31:21 +0000 https://kineruku.com/?p=20971 >]]>

Sejak terbitnya buku kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa karya Yusi Avianto Pareanom pada 2011, lebih banyak orang yang tahu bahwa tidak ada salahnya juga memakai nama “Yusi” untuk menamai anak laki-laki. Bagi banyak pembaca sastra, nama penulis itu identik pula dengan cerita segar yang sulit tertebak bagaimana akhirannya. Dalam kisah-kisah bikinannya, Yusi juga kerap menambahkan berbagai fakta sepele yang dengan ringan seolah bicara begini, “Kalau kamu sampai menganggap hidup membosankan, itu artinya kamu belum tahu.”

Pada 2016, novel dongeng Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi menyusul terbit dan memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa kategori Prosa. Pembaca buku Yusi terdahulu ada yang suka, ada juga yang kurang suka dengan Raden Mandasia. Yang jelas, semakin banyak lagi orang yang mulai membaca cerita Yusi, dan menanti kehadiran cerita-ceritanya yang baru. Buku Raden Mandasia.. itu bahkan menggerakkan seorang seniman menafsirkan dunia dalam buku itu melalui serangkaian gambar yang dibuatnya.

Muslihat Musang Emas (2017) adalah buku kumpulan cerpen terbaru Yusi, yang judulnya diambil dari salah satu cerita di situ, “Muslihat Musang Emas dan Elena”. Seperti biasa, kemunculan buku baru juga memunculkan pembaca baru. Namun, kali ini ada juga sederetan pertanyaan baru: apa sekarang sudah makin banyak orang yang terbiasa gaya bercerita Yusi? Darimana datangnya kelucuan-kelucuan itu? Apa keajaiban ceritanya sudah turun pangkat jadi trik sulap jadul? Apakah Yusi tergantung sepenuhnya pada muslihat untuk mengejutkan pembacanya?

Mari membicarakannya di hari Jumat ini.

__
Buku Muslihat Musang Emas (Penerbit Banana, 2017, 246 halaman) bisa didapatkan di Kineruku, Rp 68.000,- 

]]>
https://kineruku.com/bincang-buku-muslihat-musang-emas/feed/ 0
/baca:/ Journey to the Center of the Earth https://kineruku.com/journey-to-the-center-of-the-earth/ https://kineruku.com/journey-to-the-center-of-the-earth/#respond Wed, 07 Feb 2018 02:51:57 +0000 https://kineruku.com/?p=20914 >]]>

Ketidaktahuan, bagi beberapa orang, merupakan momok menakutkan. Di lain sisi, banyak orang terpacu untuk menembus ketidaktahuan tersebut. Ada orang yang memutuskan berkelana, namun ada juga yang memilih berandai-andai untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Saya, sebagai makhluk yang lebih suka berkhayal di Kineruku daripada bertualang ke Kinabalu, merasa keingintahuan saya terpuaskan sekaligus berlipat ganda setelah membaca Journey to the Center of the Earth, yang dipublikasikan pada 1864, hasil karya Jules Verne.

Sebagai salah satu pionir science fiction, novel ini berhasil menarik perhatian pembaca dengan berfokus pada detail, terlepas dari kebenaran “sains” yang dibahas di dalamnya, tanpa menjadi membosankan. Malah Journey to the Center of the Earth adalah sebuah novel petualangan yang fantastis (aduh, jadi novel ini karya fantasi, atau sci-fi, atau apa, sih?). Mulai dari kecintaan Axel terhadap bebatuan, hipotesis Lidenbrock mengenai panas inti bumi, juga perjalanan Lidenbrock, Axel, dan Hans memasuki terowongan gelap ke arah pusat bumi, hingga pelayaran lautan bawah tanah dengan badai dan kilat—gabungan sains dengan imajinasi Jules Verne yang luar biasa menjadi bahan utama novel ini.

Karakter-karakter di dalamnya seakan-akan merepresentasikan sifat manusia di kala modernisme, ketika novel ini ditulis: pemberontakan terhadap alam, sekaligus semangat penjelajahan dan keingintahuan. Sifat keingintahuan dan keberanian manusia dalam menjelajah seakan-akan mendapat tubuh bernama Professor Otto Lidenbrock, sementara skeptisisme sekaligus antusiasme sains tergambar dari karakter Axel, keponakan Professor Lidenbrock. Adapun ketangguhan manusia dalam bertahan hidup direpresentasikan oleh Hans, pemandu Lidenbrock dan Axel.

Journey to the Center of the Earth, bersama sekumpulan novel Verne lainnya seperti Twenty Thousand Leagues Under the Sea dan Around the World in Eighty Days (yang akan saya pinjam dari Kineruku), mengajak kita menjadi manusia modern sekaligus arkaik yang skeptis sekaligus eksploratif.

 

Muhammad Rangga Padika,
mahasiswa Sastra Inggris yang sembari menyusun skripsinya
kini magang di perpustakaan Kineruku

 

]]>
https://kineruku.com/journey-to-the-center-of-the-earth/feed/ 0