Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Bincang Buku Lokasi Telah Ditemukan

Bincang Buku Lokasi Telah Ditemukan
15/11/2012 admin

Bincang Buku Kineruku
LOKASI TELAH DITEMUKAN

Minggu, 18 November 2012
Pukul 14:00-17:00 WIB

Kineruku
Jl. Hegarmanah 52, Bandung
(peta menuju lokasi)
GRATIS.

Menghadirkan:
Taufiq Rahman (co-founder Jakartabeat.net, penulis buku Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer, Jakarta)

Dengan penanggap:
Ismail Reza (penggila musik, Bandung)
Budi Warsito (pustakawan Kineruku, Bandung)

Dimeriahkan penampilan musik oleh:
Harlan (Sakit Generik EP, Jakarta)

 

Kami di perpustakaan Kineruku mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali memegang buku—atau apapun yang bentuknya printed—berisi ulasan musik yang cukup gurih sambil tetap tak meninggalkan ketajaman dan kedalaman analisis, yang ditulis penuh gairah oleh orang Indonesia dalam bahasa Indonesia. Rasanya sudah lama sekali, semenjak Remy Sylado berfasih-fasih menguliti kebebalan musik pop Indonesia lewat satu artikel panjang yang menakjubkan di tahun 1977 (berarti sudah 35 tahun lalu), sementara ulasan-ulasan hari-hari ini di segelintir majalah musik hanya sanggup bermain-main di permukaan, dangkal dan membosankan (padahal akses mereka ke dunia itu nyaris tak terbatas), yang wajar saja jika pembaca/penikmat musik lantas berprasangka jangan-jangan kemampuan baca-tulis-analisis para jurnalis musik (!) itu memang cuma segitu doang. Benarkah sesulit itu menulis soal musik?

Peluang jawaban bisa jadi sama kuatnya antara iya dan tidak, meskipun Taufiq Rahman, co-founder Jakartabeat.net, jelas mengatakan “Tidak.” Di sinilah letak tricky-nya musik. Kita boleh saja menepuk dada sambil mengaku telah mencintai musik sejak usia dini, mengoleksi lebih banyak rilisan dan mendatangi lebih banyak konser ketimbang siapapun di sekitar kita, dan segudang klaim-klaim norak lainnya, tapi akui sajalah, bukankah kita acapkali kikuk jika diharuskan menulis tentang musik? Harus bercerita apa, dan lagipula bagaimana caranya? (Lebih eksistensialis lagi, “Haruskah ditulis?”) Musik itu seru, tapi kenapa seringnya jadi tidak seseru itu lagi begitu ditulis? Lebih mending mana, mengabarkan perasaan tercekat saat menyimak track kesekian; atau mengoceh tentang dahsyatnya lick-lick gitar si Fulan di album Anu? Berumit-rumit mengutip Nietzsche hanya demi terlihat pintar padahal please deh itu cuma tempelan (berhasil mengeja namanya dengan benar saja sudah cukup merepotkan!); atau sekadar menjejali ruang kata dengan info-info trivial yang sekadar disalin atas nama kemalasan dari press-release album baru? Semua cara itu benar, atau semuanya salah?

Taufiq Rahman, dalam buku kumpulan tulisannya yang berjudul Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer, telah mencoba segala macam cara, dan pada tingkat tertentu, dia telah memilih (menemukan?) suaranya sendiri. Mengaku tumbuh remaja di kampung dengan musik-musik Indonesia paling mainstream dalam sebuah wawancara, Taufiq berikhtiar melakukan leap of faith dengan mencoba musik-musik lain ketika kuliah di Jogja, yang dilanjutkan saat studi master di Chicago. Tulisan-tulisan di buku ini, yang banyak dituturkan dari sudut pandang orang pertama, lancar bercerita tentang fase-fase pencarian itu, mulai dari menelusuri toko-toko musik independen di pojok-pojok Amerika (dan menulis obituari penuh haru saat toko favoritnya gulung tikar), menangis menemukan piringan hitam Marque Moon, duduk berhari-hari di bus Greyhound melintasi pedalaman Midwest sambil menghayati lagu Simon & Garfunkel, mendatangi konser pahlawan-pahlawannya (lalu memilih terhipnotis DeVotchKa di Lollapalooza), hingga menziarahi kuil-kuil musik seperti Lokananta yang mengenaskan atau CBGB yang telah menjelma butik mahal, dan sederet perziarahan panjang lainnya demi “mencari rock and roll”, meski kemudian di sampul belakang buku dengan santainya ditulis “tentu saja dia tak pernah menemukannya.”

Di tulisan-tulisan Taufiq (dikumpulkan dari tulisan yang pernah dimuat di situs Jakartabeat.Net, Facebook notes, makalah workshop untuk mahasiswa, dan tulisan yang belum pernah dirilis sebelumnya), suara paling menonjol muncul dari kelihaiannya meramu isu kecintaan musik—yang bisa jadi sangat personal, sekaligus universal—dikaitkan dengan kesadaran sosial politik di sekitarnya. Keistimewaan ini tak banyak dijumpai di ranah jurnalisme musik masa kini di negeri ini. Sebagai wartawan politik di harian The Jakarta Post, tentu tak sulit bagi Taufiq memahami konstelasi politik Reagan dan munculnya Generasi X yang menyelamatkan budaya pop Amerika. Atau apa hubungan antara punk, Sukarno, dan Karang Taruna; atau bagaimana lewat lagu-lagunya yang sengaja berlirik bahasa Inggris Deddy Dores dan Harry Roesli sama-sama mendamba kebebasan di tahun-tahun awal Orde Baru berkuasa. Memisahkan musik dari suasana politik yang melingkupinya dan memusatkan perhatian kepada artefaknya saja, menurut Taufiq hanya akan mereduksi pemahaman kita terhadap manusia dan zamannya. Dia meyakini bahwa “menulis musik adalah menulis tentang manusia” (kredo ini bahkan diulang di beberapa tulisan), dan ini bisa kita gali lebih lanjut saat diskusi nanti.

Beberapa orang mungkin mengeluhkan betapa perkara musik menjadi terlampau serius dan tak lagi fun di tangan Taufiq. Meski kami kira-kira bisa mengerti kenapa, namun kami tetap angkat topi pada siapapun yang telah berusaha serius (bahkan jika harus kelewat serius sekalipun) menulis tentang musik dan manusia—yang berarti bekerja untuk keabadian, jika harus menyitir Pram yang sudah terlalu sering dikutip itu—ketimbang mereka yang tak melakukan apa-apa selain bicara nyinyir di belakang, anonymous yang kemudian lenyap disapu zaman. Tulisan-tulisan Taufiq memang mudah tergelincir menjadi music snob (yang diakuinya sendiri tanpa tedheng aling-aling di salah satu tulisan), dan jika jumlah penggemar tulisannya sama banyaknya dengan pencibirnya adalah harga yang harus dibayar demi terekamnya peradaban panjang manusia yang baru bermakna jika-dan-hanya-jika dituliskan, kenapa tidak? Kami berani bertaruh bahwa dalam beberapa tahun ke depan, orang-orang di zaman setelah kita (yang masih mencintai musik lengkap dengan segala peluang wacana dan keasyikannya) bakal mencari-cari lagi buku ini, dan bersyukur ini pernah diterbitkan.

Dalam bincang buku kali ini, selain akan menghadirkan Taufiq Rahman untuk dikorek isi kepalanya, Kineruku juga mengajak Ismail Reza, seorang arsitek senior penggila musik, yang juga pengunjung setia perpustakaan Kineruku—hingga hari ini dia masih rutin menyewa CD dari koleksi rental musik kami, atau sekadar barter piringan hitam. Antusiasmenya atas musik dan budaya pop pada umumnya, juga wawasannya yang meluber dari Einstürzende Neubauten hingga rilisan dangdut Duba Record, dari pertunjukan live Magma di Paris sampai pagelaran karya cipta Guruh Sukarno Putra, kami rasa cocok untuk membahas relasi problematis antara menggilai musik dan menulis tentangnya, dan di posisi mana buku kumpulan tulisan Taufiq Rahman ini harus diletakkan. Untuk menambah maraknya suasana, Harlan (alias Harlan Boer, akrab dipanggil Bin), musisi yang sudah lama berkiprah di scene musik independen ibukota dan bukan kebetulan adalah penulis kata pengantar buku ini, akan membuka acara dengan menyajikan repertoire dari mini albumnya yang masih hangat dari penggorengan, Sakit Generik EP (Rain Dogs Records, rilis terbatas awal November 2012). Unjuk kebolehan Harlan ini bakal jadi penampilan live perdana-nya di Bandung.

Kami mengundang semua yang membaca ini untuk datang. Semoga semesta keriaan penuh barokah senantiasa menaungi kita semua di hari Minggu nanti. Amin.

Kineruku
baca, dengar, tonton.
www.kineruku.com

 

NB.
Buku Taufiq Rahman Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer dan CD Harlan Sakit Generik EP tersedia dan dijual di lokasi diskusi. Foto bareng plus minta tandatangan tentu dipersilakan. :)

 

Acara ini terselenggara berkat kerjasama:
Jakartabeat dan Kineruku

Comment (1)

Pingbacks

  1. […] Buku ini pernah didiskusikan di Kineruku, 18 November 2012. Menghadirkan penulisnya, Taufiq Rahman (Jakarta), dengan penanggap Ismail Reza (Bandung). Baca […]

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe