Saya pernah gelagapan saat ada pengunjung perpustakaan menanyakan buku apa yang cocok dibaca anak muda seperti dirinya. Bagaimana menjawabnya? Apa saya harus sarankan buku-buku kesukaan saya? (Saya masih muda! Kelahiran akhir dekade 1980an!) Atau menyarankan buku yang saya kira akan dinikmati anak lebih muda beberapa tahun daripada saya? Saya lantas merekomendasikan Dilan karya Pidi Baiq. Namun pengunjung itu bergeming. Saya lalu mengaku buku paling berkesan yang baru saya baca adalah buku puisi Non-Spesifik karya Gratiagusti Chananya Rompas. “Saya jadi kepikiran apa yang dirasakan, tapi nggak pernah dikatakan ibu saya,” kata saya tentang buku itu. Pengunjung itu bengong lantas berlalu tanpa memilih buku apa-apa. Mungkin saya memang bukan anak muda lagi. Berupaya memahami, menempatkan diri di posisi orangtua, kini jadi hal menarik bagi saya.
Beberapa hari lalu saya membaca kumpulan cerpen Tidak (Putu Wijaya, Pabelan Jayakarta, 1999). Saya terhibur sekali, bisa dibilang Putu Wijaya kebalikan dari saya. Meski terlahir sebelum hari kemerdekaan Indonesia, Putu luwes menempatkan diri di posisi anak muda di dalam ceritanya. Kebeliaan tokoh-tokoh yang ditulis Putu terasa nyata tak sekadar dari bahasa yang digunakan untuk bicara, maupun kesenangan makan di Wendy’s dan nonton Jurassic Park; lebih penting lagi, anak-anak muda di cerita Putu tak menerima begitu saja apa yang telah ditentukan orang lain. Misalnya Tuty, menolak hadiah mobil dari ayahnya sebagai sogokan supaya dia mau bicara lagi kepada ibunya. Anak-anak muda itu juga tak berlagak jadi yang paling tahu, tapi terus mencari tahu. Sebagaimana Anna, yang mempertanyakan apa betul cinta cuma untuk dilakukan, tak perlu dikatakan. Karena sikap-sikap itulah anak muda bisa memetik pemahaman berbeda dari apa yang selama ini diajarkan ke mereka. Pada akhirnya, mereka mendapatkan kejutan menyenangkan yang tak cuma berlaku bagi diri mereka sendiri, tapi juga bagi orangtua mereka.
Setelah membaca Tidak, saya geli saat kembali mengingat bagaimana si pengunjung perpustakaan tadi itu tidak menyentuh buku-buku yang saya rekomendasikan. Bagus. Namanya juga anak muda.
[Andika Budiman]
Kineruku mengoleksi beberapa karya Putu Wijaya, baik fiksi maupun nonfiksi, seperti: Aus, Blok, Bor, Cascus, Dag Dig Dug, Dar Der Dor, Darah, Goro Goro, Gres, Kroco, Lho, Merdeka, Ngeh, Pabrik, Perang, Pol, Protes, Putri (Buku Pertama), Putri (Buku Kedua), Sobat, Telegram, Teror, Tiba-Tiba Malam, Tidak, Tulalit, Uap, Yel, Zat, dan Zig Zag.
Kineruku juga menjual sejumlah karya Putu Wijaya, yaitu:
>> Dangdut (Penerbit Basabasi), Rp80.000.
>> Stasiun (Metafor Publishing), Rp50.000.
>> Telegram (Penerbit Basabasi), Rp55.000.
>> Jprut (Penerbit Basabasi), Rp50.000