Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Sarinah: Soal Bung Karno dan Perempuan,
Yang Kita Belum Tahu

Sarinah: Soal Bung Karno dan Perempuan,
Yang Kita Belum Tahu
21/12/2009

Jauh sebelum ada tabloid gosip, apalagi acara-acara infotainment, sudah ada pengetahuan publik yang sangat satu dimensi soal dinamika mantan Presiden RI, Bung Karno dengan para perempuan. Siapa pun tahu, sang proklamator itu dikenal sebagai sosok flamboyan yang ‘doyan’ wanita. Melalui beberapa kali pernikahannya, bisa jadi mitos soal kecintaan Bung Karno akan perempuan menjadi semakin terkonfirmasi.

Tapi, rupanya Bung Karno bukan tipikal ‘buaya darat’ yang sekedar mencintai tanpa mampu menghargai peran perempuan. Kemerdekaan Republik Indonesia baru menapaki tahun kedua ketika Sukarno mengguratkan pena menuliskan sebuah buku berjudul Sarinah-Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia.

Meski tidak semonumental karya tulis Sukarno yang lain, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, buku Sarinah mampu mengungkap banyak hal yang merupakan pembelaan Sukarno atas posisi perempuan Indonesia, dalam konteks pentingnya para perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan sebuah negara yang saat itu masih belia. Soal wanita adalah soal masyarakat! tulis Bung Karno di paragraf awal kata pengantar Sarinah.

Sejak awal, Sukarno rupanya sadar betul betapa fatalnya kedudukan perempuan Indonesia bila dianggap ‘tidak ada’ peran lain selain peran pendamping laki-laki. Ia juga resah karena soal perempuan, saat itu belum pernah dipelajari dengan mendalam oleh pergerakan di Indonesia. Mengingat saat ini kita kadung berpikir urusan perempuan hanya jadi urusan sejumlah LSM atau organisasi dengan ‘judul’ yang dilengkapi kata ‘perempuan’, mungkin pemikiran Bung Karno yang tercakup di dalam Sarinah cukup layak untuk diganjar dengan kata ‘progresif’. Apalagi, tolong diingat, buku ini diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1947.

Mutiara di Dalam Kotak
Dari mana keresahan soal peran perempuan ini muncul dalam benak sang proklamator? Alkisah, Bung Karno kerap bertamu ke rumah penduduk tanpa ‘woro-woro‘ (pemberitahuan). Seringkali hanya tuan rumah lah yang menerima kunjungan Sukarno, sementara nyonya rumah tak ikut mendampingi. Kalau toh ditanya soal ini, tuan rumah kerap berdalih, ..sayang seribu sayang, ia kebetulan tidak ada di rumah. Menengok bibinya yang sedang sakit (h.7).

Kejadian serupa itu dialami Bung Karno beberapa kali, hingga suatu saat ia menangkap bayangan seorang perempuan dari balik tabir yang tergantung di pintu pemilik rumah. Sejak saat itu, benak sang proklamator dihantui ketakutan, ..bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan? Meski kemudian ia mempertanyakan kembali pertanyaannya itu, ..tetapi, kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan a la Kartini? Kemerdekaan a la Chalidah Hanum? Kemerdekaan a la Kollontay? (h.9).

Sampai di sini para pembaca mungkin bertanya, dari mana sang proklamator punya pemahaman soal beragam ‘versi’ kemerdekaan perempuan? Di bagian-bagian berikutnya, Sarinah memaparkan wawasan Sukarno yang teramat luas dan mendalam sebagai bahan argumen tingkat ‘tinggi’ dalam meyakinkan perlunya peran perempuan dalam ‘perjuangan’ (yang belakangan hari dibahasakan sebagai ‘pembangunan’) negara.

Tanpa ragu Sukarno memberikan ilustrasi adanya perlakuan kurang manusiawi pada para perempuan yang dilakukan dengan sadar atau tanpa sadar oleh para lelaki yang berada di lingkungan terdekat para perempuan itu sendiri. Sebut saja, teman Bung Karno di Bengkulu yang berprofesi sebagai guru namun tak mengizinkan sang istri keluar rumah dengan alasan ia menghargai istrinya itu bak sebutir mutiara. Tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya itu di dalam kurungan.. (h.9).

Sukarno membagi keresahannya sendiri soal pencarian definisi yang pas untuk memerdekakan perempuan Indonesia. Disebutnya pemikiran Henriette Roland Holst yang menguraikan dilema perempuan saat harus memilih peran sebagai ibu atau sebagai pekerja. Bung Karno juga lantang menentang pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki (h.11). Ia pun mendukung gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara Eropa, meski jangan pula terikat oleh rasa konservatif, melainkan mencocokkan segala hal sesuai dengan kodratnya (h.11-12).

Tak lupa, Sukarno juga mengajak pembacanya meninjau posisi perempuan menurut ajaran agama Islam. Saya beragama Islam, saya cinta Islam, tetapi saya bukan ahli fiqih. Bolehlah saya katakan di sini, di dalam masyarakat Islam pun masih ada soal perempuan. Kesan yang saya dapat, sama dengan kesan Frances Woodsmall sesudah beliau mempelajari posisi perempuan di dalam Islam, yakni, soal perempuan adalah justru bagian yang “most debated” (h.14).

Menutup argumennya di bagian awal Sarinah, Bung Karno menegaskan pokok bahasan yang ia kemukakan adalah soal posisi perempuan secara keseluruhan di dalam masyarakat, supaya posisi perempuan di dalam Republik Indonesia bisa ditempatkan sesempurna mungkin.

Kritikan Terhadap Beragam Pemikiran ‘Impor’
Sebagaimana para pemikir di fase awal kemerdekaan Indonesia, Bung Karno tidak berniat mengajak pembacanya untuk mengadopsi atau menelan mentah-mentah konsep-konsep ‘impor’ dari manapun. Termasuk soal posisi perempuan.

Dikisahkannya pada tahun 1849, ketika Elisabeth Blackwell meraih gelar ‘doktor’, terjadi keributan yang dipicu oleh para lelaki Amerika yang mengaku “cinta kemerdekaan”, semata-mata karena menganggap perempuan tak layak menjadi tabib. Amerika, seolah meniadakan peran perempuan yang menurut Sukarno ikut punya andil dalam membangkitkan rasa kemanusiaan, seperti yang pernah dibuktikan oleh Harriet Beecher Stowe melalui bukunya, Uncle’s Tom Cabin.

Belum kelar meledek AS, Bung Karno menyebut soal terbentuknya Dewan Wanita Nasional di tahun 1888 di Amerika. Yang kemudian disusul oleh negara-negara lain sehingga mempunya 50 cabang di berbagai negara. Namun badan itu lebih mengutamakan persaudaraan internasional, sehingga organisasi filantropispun bisa bergabung. Contoh lain yang lebih radikal, lebih militan dan lebih politis adalah Alliance for Women Sufferage and Equal Citizenship, yang pertama kali berkongres di Berlin pada tahun 1904. Bung Karno mengkritik Alliance yang menurutnya hanya menuntut hak persamaan dalam pekerjaan dan pemilihan umum, namun melewatkan soal ketidak-adilan sosial, yaitu soal nasib perempuan miskin (h.191).

Sukarno mengungkapkan bagi perempuan jelata, pergerakan feminisme itu tidak memuaskan karena tidak memberi solusi. Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga ekonomi (h.193). Jangan heran kalau Bung Karno mengerti mengapa perempuan jelata menolak pergerakan feminis. Intinya, Bung Karno berargumen, di tahap awal, perjuangan perempuan hanya berkepentingan mencari persamaan hak saja dengan kaum lelaki, dan perjuangan perempuan pun jadinya ‘sekedar’ melawan laki-laki. Cara itu, menurut Sukarno, tidak mempertimbangkan susunan masyarakat, maupun membandingkan strata sosial di dalam masyarakat, apalagi mengejar keadilan sosial.

Ikutlah-serta-mutlak!
Menjelang akhir dari Sarinah, terungkaplah pemikiran Bung Karno pada saat ia menuliskan buku ini: keinginannya agar revolusi segera berakhir. Karena baru setelah revolusi tuntas negara bisa dibangun. Dan agar revolusi segera kelar, semua golongan-termasuk perempuan, haruslah dapat bersatu.

Revolusi bangsa bukan revolusinya suatu kelas! Alangkah seringnya perkataan ‘bangsa’ dipermainkan! Seringkali ia dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi kepentingan suatu golongan atau suatu kelas (h.285).

Apa impian yang ingin diraih Sukarno? Berulang-kali ia menyebut ‘kesejahteraan sosial’. Tentunya yang terakhir ini yang kerap ‘dipelesetkan’ rezim penguasa sesudahnya sebagai ‘bukti’ sang proklamator itu cenderung pro-sosialisme dan kekiri-kirian. Namun, kalau kita kembali mencoba mendalami pemikirannya melalui Sarinah, sebetulnya apa yang diperdebatkannya adalah masalah kesetaraan manusia, penolakan terhadap penindasan, penolakan terhadap perilaku eksklusif, dan warisan terbesarnya yang membuat kita masih ‘punya muka’ sampai hari ini yaitu kemerdekaan untuk berpikir. Karena ia percaya, bangsa Indonesia sanggup berpikir sendiri.

Gaya penulisan dari sudut pandang orang pertama yang digunakan Sukarno saat menulis Sarinah mengungkapkan dimensi utuh dari sosok ‘ikonik’ itu. Tak pernah ragu ia bersikap, mendebat, mempertanyakan ulang, memaparkan dengan beragam argumen, tentunya dengan dukungan sejumlah data juga referensi yang luar biasa kaya. Sesekali ia mengutip paragraf dalam bahasa Belanda atau Inggris bahkan Perancis dan mendampingi teks yang dikutipnya itu dengan terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat, kejelasan perumusan setiap kalimat yang digunakan Sukarno cukup ampuh untuk ‘mempermalukan’ pejabat, akademisi, atau siapapun yang merasa ‘pintar’ hari ini namun tak sanggup menulis atau menggunakan bahasanya sendiri dengan layak. Tak ada kata atau kalimat ‘bersayap’ yang berpanjang-panjang tanpa makna, tak ada penyikapan yang tak tersampaikan dengan jelas kepada pembaca. Sang proklamator rupanya juga seorang ‘provokator’ yang menempatkan lawan bicaranya dalam posisi ‘harus siap ikut berpikir’, dan bukan hanya ‘menelan’. Hilangnya kapasitas ‘berdialog’ dengan publik ini mungkin tak luput dari kecanggihan metode komunikasi a la Orde Baru yang serba satu arah.

Pada paragraf akhir dari Sarinah, Sukarno lantang berseru, Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka! (h.329)

Pilihan penempatan posisi perempuan di dalam konteks negara pun menjadikan buku ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Mengingat sampai hari ini kerap masih sering kita temui pejuang hak perempuan ‘salah kaprah’ yang sedikit-sedikit mempertanyakan ‘perspektif jender’ tanpa melihat konteks, sehingga terkesan asal menuding atau asal memusuhi laki-laki. Di sisi lain, kita juga wajib prihatin bila mencermati kondisi saat ini di mana terlihat adanya sejumlah ‘langkah mundur’ dalam memposisikan perempuan Indonesia dengan diberlakukannya sejumlah rambu yang jelas membatasi ruang gerak perempuan yang intinya menuding perempuan sebagai ancaman pelanggaran ‘moral’. Rasanya sulit dipercaya pembatasan-pembatasan terhadap perempuan justru terjadi puluhan tahun setelah negara ini merdeka, padahal di tahun kedua kemerdekaan RI buku Sarinah sudah ada.

Akhir kata, kenapa judul buku yang sangat bertenaga ini harus “Sarinah” dan bukan “Fatmawati”, “Hartini”, atau “Ratna Sari Dewi”? Sukarno memaparkan di bagian awal, Sarinah adalah nama pengasuhnya ketika ia masih anak-anak. Dari Sarinah lah Bung Karno memperoleh pelajaran yang menurutnya paling berharga yaitu mencintai “orang kecil”. Menurut sang proklamator, Sarinah sendiri adalah “orang kecil” dengan budi yang selalu besar. Alangkah idealnya bila buku Sarinah bisa dijadikan teks wajib yang setara dengan Habis Gelap Terbitlah Terang karya R.A. Kartini. Sarinah sebetulnya sangat layak dikembalikan kepada masyarakat yang berhak membacanya karena puluhan chick- lit/teen-lit yang terbit silih berganti belum bisa menyaingi apalagi menggantikan gagasan besar di balik buku ini.

[Prima Rusdi]

Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia
Penulis: Dr. Ir. Sukarno
Penerbit: Panitia Penerbit Buku Buku Karangan Presiden Sukarno, Djokjakarta
Tahun: Edisi Ketiga, 1963

Comments (5)

  1. ninok hariyani 14 years ago

    Terima kasih banyak atas resensi bapak tentang buku Sarinah. Saya yang minim pengetahuan sejarah, sangat tersentuh dengan ulasan yang disampaikan bapak, telah membukakan mata dan hati saya. dan rasanya ingin cepat-cepat memiliki buku ini serta mendalami makna di yang terkandung di dalam buku. Sekali lagi terima kasih. Suatu hari nanti, semoga bapak tidak keberatan untuk menjadi nara sumber program cara resensi buku ini. Jika bapak tidak keberatan, bagaimana cara saya bisa menghubungi bapak? terima kasih.

  2. Kineruku 14 years ago

    Terima kasih atas komentarnya. Meskipun mbak Prima mengaku bukan ahli sejarah, tapi dia bisa dikontak via email. Silakan tengok selengkapnya di Editorial & Contributors, klik di https://kineruku.com/contributors/

  3. Prima 14 years ago

    Terima kasih mba Ninok dan Budi. Budi betul. Seperti yang saya bilang ke dia, saya bukan ahli sejarah. Sepahaman saya, forum ini (baca ulasan buku atau lainnya di situs ini) bertujuan antara lain untuk bertukar acuan/materi juga gagasan.

    Saya kurang paham dengan usulan mba Ninok soal ‘nara sumber program cara resensi buku ini.’ Sebetulnya saya sendiri juga bukan ‘reviewer’/pengulas ‘resmi’. Bagaimanapun kalau ada yang bisa kami coba jawab, silakan ajukan pertanyaan melalui situs ini.

    Oh iya, saya bukan ‘bapak’ he..he…he..
    Salam.

  4. Pandu Aji Wirawan 13 years ago

    Jadi makin pengen beli buku ini, kemarin ditawari pas gak ada dananya. Besok berburu lagi semoga bukunya masih :D

  5. wartax 11 years ago

    aku dari dulu berpendapat mungkin bangsa indonesia overrated sama bung karno, larger than life. itu mungkin yang membuat kita bangsa indonesia sungkan menjuluki dia misalnya “bung karno sebagai playboy.” bukankah julukan “bung karno sebagai arsitek” dll, sering muncul?

Leave a reply to wartax Click here to cancel the reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe