Impian Kemarau di Musim Kemarau
Sabtu malam (22/08) menjelang pemutaran Impian Kemarau, halaman depan Kineruku dipenuhi kendaraan para pengunjung yang ingin menonton film tersebut. Motor-motor yang diparkir sampai meluber melewati pagar. Ini di luar dugaan, karena kemarin hari pertama puasa. Orang-orang mungkin lebih memilih menghabiskan malam dengan berbuka di rumah dan sholat tarawih bersama keluarga. Namun bagaimanapun Kineruku juga sebuah rumah. Kebanyakan pengunjungnya pun saling mengenal meskipun tidak datang secara berbarengan. Layaknya keluarga yang lama tak berjumpa, mereka lantas menyapa akrab dan saling berbincang. Kemeriahan semakin lengkap dengan keberadaan es cendol sebagai minuman manis yang cocok untuk pelepas dahaga sekaligus berbuka puasa.
Tak lama kemudian para pengunjung mulai mengambil posisi. Kain layar, soundsystem, karpet, tikar, infocus, dan perangkat pemutar film lainnya sudah digelar di halaman belakang yang tak beratap. Jika tiba-tiba turun gerimis, praktis semua orang bakal kalang kabut. Beruntung sekarang tidak sedang musim hujan, kebetulan sesuai dengan judul film yang akan diputar. Saat semua orang sudah duduk lesehan (sebagian besar di taman rumput dan beberapa lainnya di teras), dengan wajah sumringah Budi Warsito dari Kineruku menyampaikan kata-kata pembuka, “Ini kesempatan langka karena meskipun singgah ke berbagai festival film internasional, di Indonesia sendiri Impian Kemarau justru nggak masuk bioskop ataupun dirilis DVD-nya.”
Lampu-lampu dimatikan, Impian Kemarau pun dimulai. Film yang disutradarai Ravi Bharwani ini menggambarkan sebuah daratan yang jauh berbeda dengan daratan tempat pengunjung Kineruku menyaksikannya. Daratan tersebut gersang dan sebagian besar penduduknya berbahasa Jawa. Anak-anak memandikan bonekanya dengan pasir, orang dewasa memandikan sapi kurusnya dengan air laut. Kedatangan hujan sangat dinanti, bahkan setetes air yang jatuh dari stalaktit gua pun dianggap berharga. Di daratan itulah tinggal tiga orang yang hidupnya kemudian saling berkaitan.
Ada Johan (Levie Hardigan), seorang ahli cuaca yang diutus pemerintah pusat untuk mendatangkan hujan buatan. Dengan tekun laki-laki itu meneliti awan dan mencatat angin yang tak tentu arahnya. Lalu ada Asih (Clara Sinta), seorang penyanyi sinden. Suara dan kecantikan Asih dapat menenteramkan perasaan Johan yang seringkali gundah dalam menghadapi tugasnya yang tidak hanya sulit, tetapi juga membuat para penduduk lain memandangnya sebelah mata. Asih didampingi oleh pembantunya (diperankan Ria Irawan), yang hanya bisa setia menyertai dinamika hidup majikannya.
Kehidupan Johan, Asih, dan pembantunya diungkap dengan sabar, tak terlalu banyak omong, tetapi juga tak membuat penonton frustrasi. Penggunaan dialog memang ditekan seminimal mungkin. Namun kombinasi lirik dan nada pada sinden-sinden yang dinyanyikan dengan merdu terbukti mampu memainkan emosi penonton dengan cara yang memikat dan tak lazim. Narasi dalam film ini terutama dibangun melalui gambar dan tata suara yang mencengangkan. Hasilnya adalah sebuah film yang menyedot perhatian penontonnya, membuat mereka duduk terpaku di tempat duduk masing-masing, di mana untuk mengikuti ceritanya penonton tak cukup hanya ‘melihat’, tetapi juga mesti ‘mendengar’ dan ‘merasakan’.
Cerita film ini mengangkat tentang kepasrahan terhadap otoritas yang lebih tinggi dan keinginan untuk menentukan nasib sendiri. Otoritas tersebut bisa berupa tradisi yang telah mengakar dan dihormati, bisa juga berupa penguasa yang prioritasnya terbatas pada usaha untuk mempertahankan kekuasaan. Baik Johan maupun Asih merupakan individu-individu yang dihimpit oleh otoritas tersebut. Mereka ingin bebas—minimal ingin menjalankan tugasnya dengan tuntas—tetapi bagaimana caranya? Satu tema lagi lantas mengemuka: seksualitas. Ketegangan seksual antara Johan dan Asih bisa dipandang sebagai katarsis atas ketidakmampuan mereka lepas dari belenggu otoritas. Bandung cukup dingin malam itu, kebanyakan penonton memakai baju berlengan panjang. Namun sepertinya tak ada yang kedinginan saat menyaksikan adegan Johan dan Asih berinteraksi secara seksual.
Banyak penonton masih terhenyak ketika film selesai dan closing credits mulai bergulir. Dalam kredit tersebut tertulis bahwa film Impian Kemarau diambil di Gunung Kidul, Yogyakarta. Lampu-lampu dinyalakan kembali. Para penonton bertepuk tangan. Jelas butuh waktu untuk kembali memijak ke halaman belakang Kineruku setelah diombang-ambing emosinya di Gunung Kidul selama satu jam lebih. “Acara nonton ini selesai sampai di sini. Berhubung Ravi Bharwani berhalangan hadir, untuk sekarang nggak ada diskusi dengan para pembuat filmnya,” ujar Ariani Darmawan, pemilik Kineruku. “Semoga Mas Ravi senang banyak orang menonton filmnya di sini,” timpal Budi. Malam itu ada sekitar 50-an orang.
Pengunjung pun bubar. Reaksi mereka beraneka ragam, ada yang suka Impian Kemarau, dan ada juga yang merasa pesannya kurang sampai. Ariani terkesan dengan visualnya, yang setiap scene-nya seperti diperhitungkan dengan cermat. Sementara lagu-lagu sinden dalam film ini membekas pada Budi. “Kebetulan saya mengerti bahasa Jawa. Saya kagum dengan rima-rima kata dalam sindennya. Maknanya dalam, pemakaiannya efektif, dan samar-samar ada humor subtil di lirik-liriknya.” Hal ini diiyakan oleh pengunjung lain. “Dalangnya sakti,” ujar Dani, yang baru pertama kali datang ke Kineruku, “…sindirannya kena. Nggak cuma soal rima. Subtitle bahasa Inggrisnya emang udah cukup bagus, tapi ada bercandaan yang hilang dalam penerjemahan. Misalnya ‘udan‘ dan ‘ngudani‘. Udan artinya hujan, sementara ngudani artinya menelanjangi, kan kena banget…” Pendapat Ina, seorang pengunjung lain, tentang laju cerita film ini yang lamban, “Nggak masalah. Soalnya sejak awal kita terus penasaran sama film ini, apa lagi nih yang bakal terjadi?” Lalu tentang akting Ria Irawan, “Pertama-pertama gesturnya memang terasa berlebihan,” ujar Dani. “Tapi pas dia ngumpulin rambutnya Asih, adegan-adegan sebelumnya jadi bisa diterima. Gue mulai paham betapa dia terobsesi sama majikannya.”
Impian Kemarau adalah salah satu film yang diputar dalam special event di Kineruku. Kineruku Layar Tancep sendiri merupakan program pemutaran film gratis yang diadakan setiap malam Minggu pada musim kemarau. Kira-kira sebulan sekali diselenggarakan special event, di mana selain pemutaran film juga ada diskusi bersama pembuat filmnya. Tujuannya adalah berbagi film-film referensi yang biasanya sulit diakses publik. Meski bersikeras belum mau membocorkan daftarnya, Budi mengakui untuk beberapa bulan ke depan Kineruku telah memiliki judul-judul film ciamik lainnya yang akan diputar. Kita tunggu saja tanggal mainnya.
[Andika Budiman]
Newer
Just Arrived!<br> <b>August - September 2009.</b>
Older
Kineruku Layar Tancep:<br> <b>Impian Kemarau</b> (Ravi Bharwani, 2004)
Comments (3)
Hari pertama ke rumah buku langsung disuguhi tontonan ini, mengesankan, btw Ria Irawan masih kelihatan muda ya di film ini (shooting tahun 2004), kalau yang faham bahasa jawa sih bisa ikutin nyanyian sindennya, tapi saya mah da orang sunda janten teu ngartos pisan, jadinya hanya baca subtitle aja sambil berusaha keras memahami bahasanya hehe…
nanti saya bikin juga ah review event ini. Salam kenal untuk yang kemarin hadir *baru sempat berkenalan dengan Budi dan Ariani, yg lainnya hanya sempat ngobrol dan gk sempat kenalan, tepatnya lupa lagi namanya*
Pengen tahu film berikutnya apa nih
Ayo Ihwan, ditunggu review-nya. Makasih sudah dateng ya. Film berikutnya? Tunggu saja, pasti dikabari!
the best indonesian movie i’ve ever seen,membesarkan harapan saya terhadap sinema indonesia yg monoton dan basi..kenapa dia ga masuk bioskop ya?
sudut pengambilan gambarnya yang nggak biasa dan stagnan, kesan fotografi yang tajam, dialog minim, bumbu2 puisi, dan makna2 mendalam yang nggak secara gampang ditampilin, ngebuat saya inget ama film2nya Godard, Haneke atau Antonioni.. apa mereka emang inspirasi si sutradaranya?