You can order the Anak Naga Beranak Naga (Dragons Beget Dragons, 2006) DVD for Rp 35.000,- by contacting us at this email or SMS 087824281152. We also accept international orders with PayPal payments.
Please scroll down for English version.
Sinopsis
Tidak banyak orang tahu bahwa Gambang Kromong, yang sempat dipopulerkan oleh Lilis Suryani di tahun 60-an dan duet Benyamin S. – Ida Royani di tahun 70-an, adalah sebuah musik akulturatif berbagai etnis di Indonesia yang cikal bakalnya telah dirintis lebih dari dua abad lalu. Irama gambang kromong dengan tata laras Salendro Cina pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa Peranakan sebelum akhirnya mengalami percampuran dengan budaya Jawa, Sunda, hingga Deli, membentuk sebuah musik harmonis yang kini menjadi salah satu ciri khas Betawi.
Selain mengungkapkan sejarah panjang keharmonisan budaya dan musik tersebut lewat gaya tuturnya yang dinamis dan fluid, film ini juga sekilas bercerita tentang kehidupan orang-orang Tionghoa Peranakan sebagai pelaku utama musik Gambang Kromong saat ini. Sebagian dari mereka telah menetap di Sunda Kelapa sejak abad ke-15 dan perlahan-lahan tergeser kedudukan sosial, ekonomi maupun geografisnya hingga kini kian termarjinalisasikan di pinggiran kota Jakarta. Walaupun masih memegang adat tradisi Konfucianisme dan Cina Peranakan yang kuat hingga hari ini, mereka hidup bercampur menjadi satu nyaris tanpa perbedaan dengan penduduk setempat, memecahkan stereotip kaku orang-orang Tionghoa Indonesia yang cenderung menutup diri dengan gelimangan hartanya.
Berdasarkan kompleksitas musik Gambang Kromong itu sendiri, film ini adalah sebuah catatan humanis, puitis, musikal, hingga komikal tentang musik dan budaya yang terpinggirkan.
Latar Belakang
Ketertarikan akan tema ini dimulai ketika inisiator proyek, Ariani Darmawan, secara tak sengaja menemukan CD rekaman MSPI / Smithsonian Folkways berjudul ” Music from the Outskirts of Jakarta” pada akhir tahun 2001. Musik-musik yang masih asing di telinganya itu terdengar begitu menakjubkan sekaligus membuatnya merasa heran karena ia tidak pernah mendengarkan alunan musik tersebut sebelumnya.
Ketertarikannya semakin dalam ia rasakan ketika ia mulai mempelajari sejarah dan latar budaya yang membelakangi penciptaan musik tersebut. Hingga saat ini, dapat dikatakan bahwa musik Gambang Kromong adalah satu-satunya hasil budaya adaptif Tionghoa – Indonesia, atau yang lebih akrab disebut sebagai Tionghoa Peranakan.
Selain memiliki ketertarikan pribadi sebagai seorang Tionghoa Peranakan, sang inisiator pun merasa wajib membagi informasi yang ia miliki kepada khalayak umum tentang keberadaan budaya percampuran ini, disertai sejarah panjang pembentukannya. Orang Tionghoa, yang walaupun sebagian telah berabad-abad lamanya berada di Indonesia, masih tetap merupakan bagian terpisah dari penduduk Indonesia. Stereotip-stereotip kaku yang besifat rasis telah begitu mapan dibangun berdasarkan kepentingan masing-masing golongan. Belum lagi ditambah dengan keinginan masing-masing ras untuk tetap menjaga kemurnian dan keabsolutan budayanya.
Musik Gambang Kromong banyak mengajarkan kita bagaimana sebuah budaya dapat bertahan dan berkembang tanpa mengurangi kekhasannya bukan dengan cara menutup diri, namun justru dengan cara membuka diri terhadap kebudayaan-kebudayan lain. Alat-alat musik dan budaya-budaya Jawa, Sunda, Melayu yang sedikit demi sedikit dicerap bersama dengan alat musik dan nada khas Cina justru menjadikan musik ini terdengar begitu indah dan unik. Dan hebatnya lagi, percampuran tersebut tidak hanya terjadi dalam lantunan musik, tetapi juga dalam keseharian pelakunya. Para pelaku utama musik Gambang Kromong yaitu orang-orang Tionghoa Peranakan di pinggiran Jakarta yang secara turun-temurun telah ratusan tahun berada di tanah air ini, sedari dulu membuka dan membaurkan diri dengan orang-orang setempat tanpa segan ataupun takut mempertahankan adat istiadat nenek moyang mereka juga tradisi Konfucianisme. Mereka, walaupun dengan hidup yang pas-pasan, mencerminkan keteguhan dan ketulusan hati penduduk minoritas Indonesia yang secara sadar maupun tidak telah membantu mempertahankan keberadaan sebuah budaya lokal yang terpinggirkan.
Proyek yang dituangkan dalam bentuk film dokumenter berdurasi 60 menit ini adalah semua catatan tersebut yang secara ringan mengantarkan kita pada sebuah perenungan: sedalam apakah kita telah mengenal budaya kita sendiri, dan terlebih, diri kita sendiri.
Kru Produksi
Produser/Sutradara: Ariani Darmawan
Co-produser: Tarlen Handayani
Penulis: Ariani Darmawan, Tarlen Handayani, & Yenny Gunawan
Pimpinan Produksi: Secilea & Andro Saini
Penata Kamera: I Gusti Ketut Trisna Pramana & Joedith Tjhristianto
Penata Suara: Siskawati Setiawan
Penyunting Gambar: Fitrah Hardigaluh & Yusuf Ismail
Behind the Scene: Gita Mahatma Manik & Tumpal Tampubolon
Pelaku: Aang, Gojin, Ong Gian, Masnah, & Ukar Sukardi
Nara Sumber: David Kwa, Eddy P. Witanto, & Tan De Seng
Subtitle & English Translation: Mirna Adzania, Alexandra Crosby, Rebecca Conroy
=====
[ENGLISH]
Synopsis
Not many people know that Gambang Kromong—once popularised by Lilis Suryani in the 60’s and then by duo Benyamin Sueb – Ida Royani in the 70’s—is an acculturative form of music adapted from various ethnicities in Indonesia. The seeds of the art form date back to the 18th century. The Gambang Kromong melody, of Chinese musical notations, was introduced by the Chinese Indonesian, or Tionghoa Peranakan. Through crossfertilisation with Javanese, Sundanese, and Deli cultures, a harmonious music form emerged which is now known as a specific traditional art form from Jakarta.
Together with its dynamic and engaging narration on the long history of cultural and musical assimilation, this film also describes today’s Chinese-Indonesians as the keepers of a Gambang Kromong musical legacy. Since the 15th century, their families lived in Sunda Kelapa (old Batavia / Jakarta) and had been slowly marginalized socially, economically, and geographically towards the suburban areas. Although most of them hold fast to the ancient Chinese custom, these people remain close, even inseparable, with the locals, thus breaking the stereotype of introverted-rich-Chinese-Indonesian.
Based on the complexity of the Gambang Kromong music itself, this film remarks upon the humanitarian, poetic, musical, and even comical side of a sequestered culture.
Background
It all began at the end of 2001 when the project initiator, Ariani Darmawan, stumbled upon a CD “Music from The Outskirts of Jakarta” of MSPI/ Smithsonian Folkways. It was something like she had never heard before, strange and altogether fascinating.
Her curiosity grew deeper as she discovered the history to the music. To this day, Gambang Kromong is known as the only adaptive-culture of the Chinese-Indonesians, or “Tionghoa Peranakan”, as they are popularly referred to, literally meaning Indonesian-bred Chinese. Aside from Darmawan’s own personal interest as a Tionghoa Peranakan herself, she felt obliged to share whatever information she had with the public about the existence of this hybrid-culture, complete with its rich historical background.
After centuries of living in Indonesia, Chinese-Indonesians are still considered estranged from the rest of the society. Rigid racial stereotypes have been firmly attached to them, as a result of various political interests, not to mention the drive of the Chinese themselves to retain certain cultural purities and their heritage intact.
Gambang Kromong teaches us the survival extravagance of a culture; it opens itself up to other cultures, all the while retaining its unique identity. The Chinese musical instruments and cultures were slowly adapted with the Javanese, Sundanese, and Malay, weaving an imbricated and more beautifully distinct music. Outside of the music, this acculturation extended to include the daily life of the people.
The legacy of Gambang Kromong continues today with the Tionghoa Peranakan in the rurals of Jakarta’s outskirts. They have co-existed with the locals for hundreds of years, opening up their selves without relinquishing their ancestral culture. Although struggling to make ends meet, they demonstrate a valiant integrity in keeping alive a minority community within a marginalized local culture.
This project brings together an in-depth study and intimate portrait over an hour long documentary film, delivering its audience to a contemplative point: how much does one know about one’s culture, and moreover, one’s self?
You can order the Anak Naga Beranak Naga (Dragons Beget Dragons, 2006) DVD for Rp 35.000,- by contacting us at this email or SMS +62 878 2428 1152 We also accept international orders with PayPal payments.
Comment (1)
Pingbacks
[…] Anak Naga Beranak Naga rilisan Kineruku Productions, […]