Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Blade Runner: Tuhan yang Lalai dan Manusia yang Rewel

Blade Runner: Tuhan yang Lalai dan Manusia yang Rewel
04/08/2009

Batty: “Six! Seven! Go to Hell or go to Heaven!”
Deckard: “Go to Hell!”
Batty: “That’s the spirit.”
[Blade Runner, Ridley Scott, USA, 1982]

Umpama saja Anda mengetahui persis keberadaan Tuhan: Dia adalah seorang tua jenius yang telah menciptakan Anda, tinggal di sebuah bukit yang tinggi, nyaris tak tergapai, sementara Anda dinistakan di bawah, di dunia yang kelam lengkap dengan segala kebusukannya. Lebih buruk lagi, Anda diberitahu bahwa Anda akan mati tanpa kejelasan arah sesudahnya. Tidakkah kemudian Anda berkeinginan untuk memberontak kepada Tuhan, atau Siapapun-Di-Atas-Sana yang dengan soknya menciptakan Anda kemudian menelantarkannya begitu saja?

Manusia memang unik. Dengan kualitas ketuhanan yang diturunkan kepadanya, manusia adalah satu-satunya spesies yang berpotensi berbuat apa saja dengan kesadaran penuh. Di satu sisi, bila ia lupa akan keterbatasannya, ia akan berlaku sok kuasa terhadap apa yang ia kira bisa dikuasainya. Pada jalur lain yang tak kalah destruktif, bila manusia berpandangan negatif terhadap kekuasaan-Nya, ia menjelma menjadi makhluk pemberontak yang dalam ketidakberdayaannya hanya bisa menyangkal keberadaan Tuhan… atau Siapapun-Di-Atas-Sana. Sungguh suatu kerewelan yang luar biasa. Tetapi itulah salah satu ciri khas manusia.

Lewat Blade Runner, sutradara Ridley Scott menyuguhkan gambaran yang ekstrim tentang “manusia” melawan “Tuhan”. Bersetting tidak jauh di masa depan, digambarkan bumi telah menjadi tempat yang terbuang, kelam dan dihuni oleh manusia kasta rendah yang tidak mampu hidup secara mewah di koloni luar angkasa (off-world), kecuali beberapa manusia beruntung yang memang memilih untuk tetap di bumi, mungkin untuk menistakan yang lainnya.

Di masa itu manusia telah berhasil menciptakan replicants, yaitu manusia tiruan yang dimodifikasi secara genetis menuju kesempurnaan. Mereka dirancang untuk melakukan pekerjaan kasar yang dirasa berbahaya bagi manusia, dan direkayasa supaya tidak memiliki perasaan dan emosi. Tetapi, kenyataan bahwa mereka adalah makhluk biologis (hasil kloning yang disempurnakan?) membuat mereka mampu mengembangkan sendiri emosinya. Oleh karena itu, sebagai tindakan preventif, mereka dirancang untuk hanya mampu hidup maksimal empat tahun.

Roy Batty (Rutger Hauer), seorang replicant generasi terbaru tidak dapat menerima kenyataan ini. Ia memberontak. Dibantu beberapa temannya, dalam kemarahan dan ketakutan-bawah-sadarnya akan kematian, ia kembali ke bumi untuk mengkonfrontasi penciptanya, sang Bapa yang telah menelantarkannya dalam kehinaan, Dr. Eldon Tyrell (Joe Turkel).

Sementara itu di bumi, di mana replicants dinyatakan ilegal, terdapat sekelompok pemburu yang dilatih khusus untuk membinasakan (eufemismenya: memberhentikan) replicants, dinamakan blade runner. Rick Deckard (Harrison Ford), seorang blade runner veteran terpaksa ditugaskan kembali untuk memburu Roy Batty dan kawan-kawannya. Dalam penyelidikannya, ia bertemu Rachael (Sean Young), seorang replicant generasi terakhir yang—tidak seperti yang lain—diberi memori sehingga seolah-olah ia telah menjalani hidupnya secara utuh dan mengalami masa kecil. Adanya memori palsu dalam diri Rachael membuatnya tidak menyadari bahwa ia seorang replicant.

Blade Runner adalah pencapaian tata visual artistik yang luar biasa oleh Ridley Scott. Dengan bahasa visual yang simbolik, ia menyuguhkan sebuah dunia yang telah usang, terdegradasi, dan menyesakkan. Dengan mengatur supaya hanya polisi yang memiliki kendaraan terbang, ia membuat kesan sebuah masyarakat yang terus diawasi oleh “yang-di-atas”. Dengan menciptakan gedung Tyrell Corporation (perusahaan milik Dr. Eldon Tyrell) menjulang tinggi mirip piramida Maya Kuno, ia membuat kesan adanya “kekuasaan tuhan” yang dilimpahkan kepada Dr. Tyrell. Dengan memilih arsitektur art deco raksasa sebagai interior kantor polisi, ia memberi kesan adanya unsur neo-fasis yang bersifat diktator di sana (seperti halnya rancangan-rancangan gigantis art deco yang dibuat Albert Speer untuk Hitler).

Melalui mata seorang Rick Deckard, plot cerita sesungguhnya menyuguhkan perjalanan emosi Roy Batty yang semula berupa binatang-berakal yang ketakutan, marah dan agresif menjadi seorang “manusia” yang mampu berempati, mampu merasakan hidup dan mensyukurinya. Sungguh suatu ironi bahwa ia harus menjalaninya lewat cara-cara yang penuh kekerasan, bahkan mengkonfrontasi “tuhannya”. Ironi lain hadir ketika empati seorang replicant tumbuh, tes Voigt-Kampff yang dilakukan oleh para blade runner menjadi tidak valid. Dalam dunia para blade runner, tes Voigt-Kampff adalah tes yang terdiri dari serangkaian pertanyaan untuk menentukan kadar empati seseorang melalui analisis jawaban, bahasa tubuh dan reaksi-reaksi biologis lainnya. Dari situ, seorang blade runner menentukan apakah orang yang diwawancarainya replicant atau manusia.

Ketidakvalidan tes Voigt-Kampff menjadi komplit ketika hadir Rachael, replicant yang oleh penciptanya sengaja diberi memori masa kecil palsu sebagai bantalan emosi yang pada gilirannya membuat kejiwaannya lebih stabil. Hal ini menyodorkan pertanyaan baru yang menggelitik: ketika memori palsu itu membuat Rachael yakin dirinya manusia, apa yang membuat kita para manusia tulen yakin bahwa apa yang ada di dalam memori kita benar-benar terjadi? Dan ketika Roy Batty, yang tidak memiliki landasan memori itu—oleh karenanya merasa marah dan ketakutan—dapat mengembangkan empatinya, apa yang membuat manusia menjadi manusia, kalau begitu? Jawabannya mungkin: empati. Melalui empati, berkembanglah kemampuan mengasihi yang menentukan kualitas diri kita sebagai manusia, tidak peduli lahir dari rahim ibu atau dari tabung kriogenik sekalipun. Empati adalah kutub lain dari kualitas manusia yang berada di ujung ekstrim lainnya: berakal, buta hati dan ingin menguasai.

Ketika kita menyadari potensi yang ada di dalam manusia untuk memanusiakan dirinya, mungkin gambaran lain yang disodorkan lewat film ini patut kita renungkan. Ada dua sosok tuhan dalam film ini: Dr. Eldon Tyrell, yang dengan kuasa dan kesombongannya menciptakan replicants untuk kemudian dipekerjakan dan “dibuang” ke dunia yang keras dan kotor, kemudian berbangga diri akan ciptaannya. Yang lain adalah J.F. Sebastian, asisten Dr. Tyrell yang menciptakan mainan-mainan jenaka sebagai temannya, di mana kemudian ia sangat mengasihi mereka, selalu merawatnya, selalu berperan ketika ada sesuatu yang salah atau rusak. Andaikata kita disodori pilihan akan dua sosok tuhan seperti itu, mungkin kita akan dengan mudah memilih yang kedua. Tetapi, apakah manusia serendah itu? Apakah manusia tidak lebih dari ciptaan-ciptaan rewel yang harus selalu “direparasi” oleh tuhannya, tanpa ikhtiar? Mungkin manusia memang harus menemukan jalannya sendiri, untuk memanusiakan dirinya, meski harus melalui tetesan-tetesan darah, seperti yang telah kita saksikan dalam ribuan tahun sejarah umat manusia.

[Ifan Adriansyah Ismail]

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe